Contextual Teaching Learning (CTL) Bahasa Indonesia di Masa Pandemi Covid-19,  Relevankah?

Contextual Teaching Learning (CTL) Bahasa Indonesia di Masa Pandemi Covid-19, Relevankah?

Contextual Teaching Learning (CTL) Bahasa Indonesia di Masa Pandemi Covid-19,  Relevankah?
oleh
Elfiana Martyassasi
Guru MTs.N 5 Bandung Barat
Pos-el : elfianamrt11@gmail.com


Bagaimanakah  relevansi contextual teaching learning (CTL)  dengan pembelajaran khususnya Bahasa Indonesia  di masa  pandemi Covid-19?   Berdasarkan regulasi pemerintah dalam menyikapi proses pembelajaran di masa pandemi Covid-19 terutama bagi daerah-daerah yang berstatus zona belum aman  menyatakan  bahwa proses pembelajaran berlangsung secara daring.  Dalam hal ini berarti  bahwa proses interaksi antara guru dan murid harus dilakukan secara daring (online) melalui media sosial  yang mereka sepakati bersama. Dengan demikian, keberadaan siswa secara  real  lebih banyak bersama keluarga mereka masing-masing dan guru bekerja juga dari rumah atau yang biasa disebut dengan TFH  (Teaching From Home) yang dalam perkembangan selanjutnya  untuk kepentingan belajar siswa digunakanlah istilah Belajar dari Rumah (BDR) ini, sebuah pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) sangat tepat untuk diterapkan. Contextual Teaching Learning (CTL)  atau biasa disebut dengan pembelajaran kontekstual adalah  pembelajaran yang mengaitkan materi yang dipelajari dengan kehidupan nyata siswa sehari-hari, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat maupun warga negara dengan bertujuan  untuk  menemukan  makna  materi  tersebut  bagi  kehidupan secara langsung akan dialami  (Komalasari, hlm. 2010) .  Pembelajaran kontekstual terjadi apabila siswa menerapkan dan mengalami apa  yang berhubungan dengan peran dan tanggung jawab mereka sebagai anggota keluarga warga negara, siswa dan tenaga kerja (Trianto, hlm.2009).

Melalui pembelajaran kontekstual ini, siswa akan memiliki pembelajaran yang bermakna. Sejalan dengan  prinsip pembelajaran kontekstual yang meliputi  tujuh  komponen utama, yaitu (1) konstruktivisme (constructivism), (2) bertanya (questioning), (3) inkuiri (inquiry), (4) masyarakat belajar (learning community), (5) permodelan (modeling), (6) refleksi (reflection), dan (7) penilaian autentik (authentic assessment)  (Trianto,thn.2009).  Saat  siswa melaksanakan  pembelajaran secara daring di masa pandemi covid-19 ini,  banyak waktu siswa di luar kelas dan berada di tempat tinggal serta lingkungan mereka masing-masing serta bebas mengakses internet dalam pemantauan keluarga mereka masing-masing. Perbedaan yang sangat mencolok inilah (yang selama ini siswa bersekolah real tatap muka langsung di dalam kelas,  pada umumnya  mereka terbatasi oleh tata tertib sekolah bahwa siswa tidak boleh membawa HP saat jam sekolah) secara relatif dapat dimaknai  positif bahwa siswa semakin banyak wawasan, pengetahuan, dan informasi-informasi  lain  yang bisa didapatkan, bukan sekedar dari guru, melainkan dari media  dan lingkungan mereka masing-masing sehingga bertambahlah pertumbuhan dan perkembangan siswa dalam kemampuan dan keterampilan mengambil sebuah sikap dan keputusan. Khususnya pada pembelajaran Bahasa Indonesia, seharusnya keempat aspek keterampilan  (membaca, menulis, mendengar, berbicara) menjadi komponen yang sangat tepat untuk diterapkan melalui contextual teaching learning (CTL), terlepas dari berbagai kendala ataupun dampak negatif sesuai dengan konteksnya.

Guru selayaknya dapat memanfaatkan fenomena-fenomena yang ada selama Pandemi covid-19  ini yang  telah membawa dampak relatif buruk secara signifikan baik di sektor ekonomi, kesehatan, sosial, maupun  sektor-sektor yang lainnya ke dalam proses dan model pembelajarannya. Kebijakan  social distancing  dan  physical distancing untuk memutus mata rantai covid 19, memaksa banyak perusahaan merumahkan karyawannya. Banyak instansi dan perusahaan menerapkan WFH (work from home), dan yang lainnya.  Selain itu, muncul pula permasalahan  di masyarakat secara kompleks. Hal itu dapat diambil hikmah atau pesannya dalam berbahasa Indonesia melalui bentuk-bentuk teks yang ada. Dalam suasana itu pula, banyak istilah atau kosakata baru  yang muncul memperkaya  khazanah  Bahasa Indonesia ( misalnya virus, masker, PSBB, APD, prokes-protokol kesehatan, PPKM, herd immunity (kekebalan secara berkelompok), vaksin (sinovac, astra zeneca/AZ),  stay at home,  masa transisi, lockdown, gugus tugas,  PCR, bansos, karantina, karantina mandiri, isolasi, tunda mudik, rapid test,  Swab Test, terpapar, disinfektan, ODP, PDP, OTG, AKB (Adaptasi Kebiasaan Baru), zona merah, zona hijau, hand sanitizer, suspect, WFH, BDR, TFH, WFO, epidemi, pandemi, local transmission (penularan penyakit saat pasien berada di lokasi), flatening the curve (pelandaian kurva) dan masih banyak istilah-istilah lain yang mendadak viral di masyarakat ). Istilah-istilah tersebut sangat familiar atau sudah terbiasa didengar oleh siswa, baik melalui media massa maupun dalam percakapan di lingkungan siswa.

Berbagai permasalahan tersebut,   sangatlah nyata, dekat  dengan kehidupan siswa. Adanya korban PHK dan banyaknya masyarakat yang kehilangan mata pencaharian menjadi bagian di sekeliling  kehidupan siswa. Bahkan, ada  orang tua/keluarga siswa  yang terdampak dari adanya pandemi covid-19 ini. Adanya program jaminan sosial  seperti BLT, bantuan sembako baik dari pemerintah maupun para donatur, CSR perusahaan maupun swadaya masyarakat menjadi topik hangat di masyarakat  sebagai bagian upaya mengatasi permasalahan sosial akibat pandemi ini. Lebih dari itu , siswa harus terampil menerapkan pola hidup baru menjaga protokol kesehatan di mana pun mereka berada, rajin mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak aman.
Contextual teaching learning (CTL)  ini idealnya dapat  memotivasi  siswa untuk mampu berpikir kritis,  berani berpendapat dan memutuskan,  menemukan konsep-konsep baru dalam menyimpulkan beragam  permasalahan di lingkungan masyarakatnya.  Sesuai dengan pantauan kami, khususnya untuk siswa di tingkat sekolah menengah, Critical thinking  (sebagai keterampilan belajar abad 21)  siswa akan terasah ketika siswa dengan rasa ingin tahu yang besar menggali informasi dari responden. Siswa juga dapat secara kritis membandingkan materi yang ia pelajari dengan kondisi nyata dalam masyarakat hasil temuan siswa sehingga siswa dapat berlatih menberikan solusi (pengambilan keputusan)  mengenai upaya-upaya yang dapat dilakukan, misalnya  untuk menopang ekonomi  di masa pandemi. Sebagai contoh, siswa baik secara individu maupun berkelompok (dengan rekan-rekannya ataupun berdialog, bermusyawarah dengan anggota keluarganya) berkreasi langsung   membantu berbagai jenis usaha informal di sisa-sisa waktu belajarnya, seperti pembuatan masker kain,  pembuatan hand sanitizer, dan berbagai jenis usaha kuliner orang tuanya yang dipasarkan secara online. Hal ini dapat terlihat dari status-status siswa yang  berisi iklan/promosi kuliner keluarganya  di media sosial mereka.  Ini berarti bahwa siswa mampu menulis teks iklan sekaligus bisa menyiarkan, mengkomunikasikan, atau mempublikasikan hasil kreasinya kepada masyarakat pembacanya.

Jadi, Contextual teaching learning  (CTL) atau biasa kita kenal dengan pembelajaran kontekstual  merupakan pembelajaran komprehensif yang mengembangkan potensi siswa pada aspek  kognitif (yang  berorientasi pada kemampuan berpikir), ranah afektif (yang berhubungan dengan perasaan, emosi, sistem nilai, dan sikap-perilaku),  dan ranah psikomotor  (yang berorientasi pada keterampilan motorik atau kreativitas siswa), baik yang dilakukan secara berdiskusi, individual, maupun berkelompok dengan yang lainnya. Terutama pada aspek kognitif,  siswa bukan hanya mampu mencapai level analisis,  evaluasi, menilai,  dan membandingkan antara apa yang mereka pelajari dengan upaya apa yang  sesuai untuk mengatasi permasalahan yang ada di lingkungan sekitar pada masa pandemi ini  melainkan siswa mampu menciptakan ide (creat) dan mempraktikkan idenya untuk diri dan keluarganya. Hal tersebut merupakan salah satu cara siswa mampu mengkomunikasikan hasil berfikirnya. Dengan demikian, pembelajaran kontekstual ini sangatlah tepat dan relevan diterapkan di masa pandemi Covid-19 (yang mau tidak mau masa pandemi  Covid-19 ini telah memberikan banyak dampak dalam tata kehidupan manusia, baik dampak positif maupun dampak negatif). Namun sudah menjadi tugas dan kewajiban, seorang guru haruslah tetap memberikan motivasi yang baik  dan membantu siswa untuk semangat mempersiapkan masa depan baiknya dalam kondisi dan situasi apapun secara optimal sesuai dengan kemampuan dan keterampilan yang dimiliki siswa.


DAFTAR PUSTAKA

  • A.M, Sardiman. 2007.  Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar.  Jakarta : Raja Grafindo Persada.
  • Depdiknas. 2003. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning / CTL).Jakarta : Ditjen Dikdasmen.
  • Http://www.kompas.com/edu/read/2020/05/03/mendikbud-dan-najwa-hihab-ini-dampak-positif-negatif-corona-di?page=all
  • Komalasari, Kokom. 2013. Pembelajaran Kontekstual Konsep dan  Aplikasi. Bandung : Refika Aditama.
  • Menteri Agama RI. 2020. Surat Edaran Menteri Agama No. 2 Tahun (tentang Penyesuaian Kerja Pegawai dalam Upaya Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease ( Covid-19 ) pada Kementrian Agama. Jakarta.
  • Sikumbang, Yunardi. 2020. Sisi Positif Covid-19 bagi Dunia Pendidikan. Padang : Padek. Jawa Pos. Co.
  • Suteki. 2020. 7 Dampak Positif Pandmi Covid-19 Bagi Dunia Pendidikan. Suteki.co.id.
  • Wijaya, Lani Diana ( Editor : Endri Kurniati ).  2020.  Dampak Negatif dan Positif Pembelajaran Jarak jauh Selama Pandemi Covid-19. Jakarta : Tempo. Co.