Jimat Bashar: Membaca agama dari perspektif sosiologi (1) : Belajar dari fase Makkah
  • 26 Februari 2021
  • 220x Dilihat
  • Berita

Jimat Bashar: Membaca agama dari perspektif sosiologi (1) : Belajar dari fase Makkah

JIMAT BASHAR

ngaJI juMAT BAda aSHAR

 

(Jimat Basyar, 26 Februari 2021)

Islam yang lahir di daerah gurun yang cenderung keras namun juga kental dengan nuanasa ashobiyah menjadi fenomena menarik untuk dibaca dari persepktif sosial. Selama ini dalam pendekatan theologis, klaim utama dan sempurna pasti menjadi bagian tak terpisahkan atas doktrin iman umat Islam. Namun demikian tidak mengesampingkan fakta lain dalam sejarah, bahwa hadirnya Islam secara sempurna itu bukanlah seperti sebuah paket hadiah yang langsung utuh. Ia hadir berangsur-angsur setidaknya memakan waktu dua dasarawarsa. Atas hal ini, penting kita sadari bersama bahwa fakta historis ini tentu memiliki makna yang bisa kita gali dalam menyelami relaitas kekinian. Terutama dalam upaya menemukan otentisitas keislaman di masa modern ini.

Secara umum, ada dua fase yang bisa kita sebutkan dalam perjalanan dakwah nabi. Pertama periode Makkah. Atau sering disebut periode pra-hijrah. Kedua, periode Madinah,atau pasca-hijrah.  Pada periode pertama itu selama lebih kurang 13 tahun dakwah nabi berada dalam situasi sosial yang terkesan kurang menguntungkan. Namun secara teologis merupakan fase yang gemilang sebagai fondasi awal pembinaan muslim yang secara jumlah relatif sedikit. Atas jumlah yang terbatas inilah jika dibandingkan dengan jumlah musyrikin Quraisy dewasa itu, kerap kali umat Islam nenerima perlakukan tidak adil. Bahkan nabi sekalipun, jika tidak ditopang oleh tradisi kolektivitas kekeluargaan yang menjadi ciri khas masyarakat gurun dalam memberikan perlindungan kepada anggota klan, hampir bisa dipastikan beliau juga akan menerima perlakuan yang lebih buruk lagi.

Sependek rekaman sejarahwan, menunjukkan bahkan selalu ada upaya kotor yang dilakukan musyrikin Quraisy untuk meminta Nabi dipertukarkan dengan pemuda pilihan kepada Bani Hasyim, agar menghentikan dakwahnya. Namun Bani Hasyim di bawah kepemimpinan sang paman, Abi Thalib, tetap setia dengan tradisi klan, yaitu membela posisi kemenakan sebagai bagian dari keluarga terhormat di Makkah. Kendati secara ekonomi sang paman bukan lagi golongan yang terpandang, namun kedudukannya sebagai salahsatu bangsawan yang menjadi tetua di Makkah tetap mendapatkan penghormatan penuh dari kaumnya. Dengan demikian, meski mendapatkan tentangan, selama sang paman masih berdiri sebagai tetua klan, posisi Nabi masih relatif aman.

Akhir fase Makkah ini, ditandai dengan meninggalnya sang pembela, sang paman yang amat dikasihi nabi. Ibarat burung yang patah sayapnya posisi sosial ini sangat berpengaruh terhadap dakwah nabi. Situasi ini belum berhenti, dengan ditinggalnya pergi oleh istri tercinta, Khadijah, r.a. maka praktis kondisi nabi berada dalam situasi yang menyedihkan. Situasi ini seringkali disebut dengan tahun kesedihan. Khadijah bukan hanya istri yang menjadi mitra diskusi bagi beliau, melainkan juga salahsatu penopang dakwah nabi, mengingat kehormatan yang dimilikinya. Dalam situasi tersebut, nabi tetap meneruskan upaya dakwahnya dengan mencoba menjalin hubungan dengan kelompok Taif. Namun bukan sikap positif yang diperolehnya, melainkan sikap-sikap yang tidak patut. Bahkan hampir nabi dikeluarkan dari kedudukannya sebagai warga Makkah jika tidak diterima sebagai salah satu anggota klan oleh Muth’im bin ‘Adi yang menjadikan posisi tersebut nabi memiliki pembela. Fase ini berlangsung sampai nabi membuka peluang untuk hijrah ke Yatsrib.

Narasi di atas sejatinya hendak menyatakan bahwa , Islam hadir secara berangsur itu merupakan pelajaran penting bagi umatnya. Agama ini [Islam] bukan paket jadi yang hadir secara asing dan memaksa pemeluknya untuk mengikuti sebuah doktrin, suka atau tidak suka. Ia hadir berangsur-angsur merespon kondisi umat dewasa itu, sesuai dengan konteksnya. Meski tentu tidak harus dibaca Islam tunduk secara pasti terhadap konteks, namun dialog antara doktrin dengan konteks lebih bisa dipahami.

Dialog antara ajaran (doktrin) dengan konteks ini akan terus berlangsung hingga kini. Karenanya diperlukan ulama yang bisa menjadi pewaris ajaran  nabi dalam membahasakan kembali agama ini sesuai dengan kondisi sekarang. Pesan Islam yang shalih likulli zaman wa makan akan tetap aktual ketika ia bisa menjawab persoalan kekinian sembari menawarkan jalan keluar yang terus kontekstual. Banyaknya peristiwa-peristiwa sosial yang mewarnai perjalanan dakwah nabi periode Makkah ini menunjukkan bahwa sebagai manusia, nabi yang mulia tetap terikat oleh tatanan sosial yang berlaku dewasa itu. Dengan demikian, semua strategi dan upaya yang nabi lakukan adalah juga merupakan warisan yang harus kita terima sebagai wawasan keislaman. Perbaikan kondisi umat dari sisi teologis tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosialnya. Paling tidak, seperti kita ketahui bersama, dalam fase Makkah ini dakwah nabi lebih banyak berorientasi aqidah. Sebuah upaya untuk mengenalkan Tuhan dan memahami perintah esensialnya yaitu Tauhid. Hal ini sesuai dengan konteks masyarakat Makkah yang pagan dan politheis.

Berangkat dari pengalaman sosial demikian, maka kita bisa melihat bahwa agama [Islam] bukan hanya tentang  persoalan kehidupan kemudian (akhirat), melainkan juga memberikan garis terang mengenai kehidupan di sini (dunya). Beberapa peristiwa sosial yang nabi alami baik yang kurang baik seperti intimidasi maupun hal – hal positifnya seperti kolektivitas sosial, sampai kini dapat kita terima menjadi salahsatu warisan dari nabi yang mulia melalui haditsnya. Salah satu hadits terkenal yang kita terima adalah bentuk keimanan kita terhadap Allah dan hari kemudian adalah dengan menghormati tetangga (man aamana billahi wa l yaumi l akhir, fa l yukrim jaaroh). Melalui pesannya yang mulia ini, nabi merekam salahsatu tradisi baik dalam sistem sosial masyarakat dewasa itu adalah pentingnya menjaga hak-hak dan menghormati kehormatan tetangganya. Bahkan sikap dan tindakan ini beliau kaitkan dengan dimensi teologis, yakni wujud keberimanan. Seperti kita pahami bersama, iman merupakan dimensi aqidah yang sanagt penting bagi umat Islam, Ternyata impementasinya tidak hanya mengenai hal-hal datau perkara yang jauh, melainkan hal  atau perkara yang dekat dalam realitas sosial kita bahkan sampai sekarang. Kehidupan bertetangga adalah salah satu jalinan dalam tatanan sosial, siapapun, umat apapun.

Melalui wawasan dialogis ini diharapkan kita membaca Islam bukan sebuah paket simsalabim, bahwa siapapun yang lantas beriman dan ber-Islam akan langsung menemukan bonus posisi terbaik dalam konteks sosial. Ia tetap sebuah proses yang perlu diperjuangkan. Bukankah iman sekalipun harus terus diperjuangkan? Karena ia yazidu wa yankusu. Masih terentang panjang dan luas sebuah medan jihad untuk bisa menunjukkan keagungan Islam melalui cara kita dalam ber-Islam. Karena itulah, nabi yang mulia mengajarkan kepada kita do’a yang sering kita lantunkan, sebuah permohonan agar kita meraih kebahagiaan di dunia, pun di akhirat. Hakikatnya do’a ini mengajarkan juga kepada kita keseimbangan tatalaku, antara kedisinian dan harapan di masa depan.