Dari Rasa Malas Hingga Kuota Tandas
Dari Rasa Malas Hingga Kuota Tandas
Oleh: Ade Kartini
Pandemi Covid-19 di Indonesia telah mencengkram banyak sisi kehidupan masyarakat, tidak terkecuali dunia pendidikan. Kebijakan Belajar Dari Rumah (BDR) pun ditetapkan. Mas Menteri melalui media sosial berbicara langsung tentang BDR ini secara khusus. Penerapan ini pasti tidak akan mudah, apalagi bagi lembaga pendidikan yang tidak memiliki sarana penunjang yang memadai untuk kondisi tersebut.
Bagi sebagian lembaga yang memiliki infrastuktur dan sumber daya manusia yang memadai tentu tidak akan menjadi kendala yang berarti. Namun lain cerita dengan madrasah yang memiliki kondisi yang sebaliknya. Contohnya Madrasah aliyah swasta tempat saat ini kami mengabdi.
Madrasah aliyah kami terpadu dengan sistem pendidikan pesantren tradisional. Peserta didik di dalamnya merupakan pendatang dari luar daerah. Bukan dari wilayah perkotaan, namun mereka yang turun dari puncak gunung, lereng bukit, pedalaman hutan, yang memiliki semangat menimba ilmu di tempat yang lebih ramai daripada tempat asalnya. Mereka menjadi siswa sekaligus santri, belajar di kelas sampai pertengahan siang dan menggeluti kitab kuning dari sore hingga malam.
Tak ada biaya pendidikan yang besar bagi mereka seperti di banyak lembaga pendidikan yang lain. Ada keinginan belajar pun sudah menjadi kebanggaan bagi madrasah. Berusaha memfasilitasi mereka dengan ilmu dan membekali legalitas keilmuan di akhir masa dengan selembar ijazah. Kesederhanaan tampilan dan asal mereka yang melekat sebagai santri sekaligus peserta didik itu tidak berlaku untuk cita-cita yang mereka miliki.
Mereka pun jelas terimbas dengan ketentuan dan kebijakan pemerintah mengenai BDR. Pesantren memulangkan mereka untuk belajar dari tempat asalnya. Kepulangan mereka ke kampung halaman untuk BDR memunculkan banyak kendala. Kendala yang paling mencolok adalah kekurangan animo dan partisipasi peserta didik dalam program ini. Ketidakhadiran sejumlah peserta didik menjadi masalah pertema yang mencuat ke permukaan. Hal ini menimbulkan pertanyaan dan masalah tersendiri akan kondisi peserta didik yang mayoritas berada di daerah.
Kondisi ini menantang para pendidik untuk mencari tahu sebab dan jalan keluar yang efektif. Cara pertama adalah mengirimi mereka pesan satu per satu, japri. Daftar hadir memandu kami dalam memberikan skala prioritas nama peserta didik yang harus dikontak lebih awal. Menelusuri kontak peserta didik seperti ini memang membutuhkan waktu yang tidak sepele, begitu pula saat komunikasi berlangsung. Ia memerlukan keterampilan khusus, terutama keterampilan mengendalikan diri. Sabar, menjadi bekal utama yang harus disiapkan dan disiagakan, lalu berprasangka baik sebagai penyertanya.
Penelusuran biasa dimulai dari siang selepas waktu zuhur. Menuliskan assalamualaikum di setiap permulaan membuka percakapan. Ah, ternyata sampai sore hari tiba, masih banyak kontak yang hanya mampu memunculkan tanda centang satu bahkan tanda jam! Tak bosan dan tak patah arang, satu, dua, tiga dan selanjutnya pesan-pesan terkirim dari ponsel pun ditelusuri. Beberapa di antaranya ada yang berubah menjadi double check mark, selebihnya masih utuh seperti semula. Ada yang langsung berubah warna menjadi biru dan masih ada juga yang tetap saja abu-abu.
Beberapa pesan yang berubah menjadi biru telah menjawab segera dengan beberapa alasan. Alasan pertama, tidur setelah subuh dan bangun siang sehingga tidak bisa mengikuti kegiatan daring karena terlambat. Kedua, anak yang abai, hal ini tercermin dari jawabannya di beberapa pertanyaan yang tak disertai dengan alasan jelas dan masuk akal. Ketiga, merupakan jawaban yang memang tak ada solusi lain selain menunggu kehadiran sang sinyal.
“Di sini sinyalnya luplep, Bu.”
Begitu salah satu alasan pesan ketiga berbunyi. Namun, bukan guru namanya jika tak memiliki jurus untuk bisa memaksa peserta didiknya agar berusaha mendapatkan sinyal. Mulai dari memotivasi mereka agar bisa mengambil solusi sendiri dengan tepat atau merayu agar bersedia memosisikan diri dengan sinyal yang bersahabat.
Tentu penasaran dengan jawaban pesan keempat, kan? Sebuah ungkapan yang memang bisa jadi sangat miris, ketunaan kuota. Sang anak akan bisa berkomunikasi dengan mengandalkan penambatan “area panas”. Ia akan menambatkannya ponselnya pada hotspot dari ponsel sang kakak yang pergi pagi pulang petang karena bekerja. Itu pun tak bisa selamanya, sesuai dengan jarak kedekatan ia dan sang kakak, maka di situlah pengaruh ia bisa berselancar di dunia maya. Ah, ternyata beginilah kenyataan di lapangan berbicara.
Oia, ada satu hal yang paling mengherankan. Kegaiban seorang aktivis OSIS yang sangat rajin dalam segala hal. Sayang, sore itu si pesan tak sampai ternyata ke gawainya. Single check mark abu-abu itu tak berubah menjadi double. Ah, sudah bisa menyangka jika ia pasti tak memiliki kuota. Namun apa yang terjadi? Aha! Pada dini hari saat menjelang subuh, ia membalas pesan.
“Saya hanya punya kuota malam, Bu. Jadi kalau siang hari saya tidak bisa aktif.”
O... malang nian, Nak! Maafkan kami para guru tak lalai menyubsidimu untuk membelikan kuota yang dibutuhkan. Kami yakin kamu anak rajin dan taat tak akan secara sengaja kamu tinggalkan kegiatan ini dengan sengaja.
Kisah di atas adalah salah satu dari sekian peserta didik yang hanya memiliki kuota malam. Masih ada beberapa perserta didik yang bernasib sama dan kami tak bisa melakukan apa-apa hanya dorongan dan kata-kata optimis saja bagi mereka. Mereka yang aktif dalam pembelajaran daring ini pun bukan berarti tak memiliki kendala.
Ada dari mereka hanya memiliki kuota chatting. Hal ini mengakibatkan mereka tidak bisa mengunduh materi yang berbentuk video, membuka tautan, apalagi panggilan video. Situasi memaksa mereka untuk bisa berdamai dengan keadaan. Tekad dan usaha mereka dalam belajar, melampaui kemampuan ekonomi sebagian besar penghasilan orang tuanya.
Kuota belajar yang dibagikan menjadi salah satu angin segar bagi sebagian peserta didik kami. Sebagian, karena masih ada peserta didik kami yang tidak mendapatkan bantuan tersebut walaupun sudah mengisi formulir bantuan kuota belajar. Hal lain dari kuota belajar ini ternyata menurut mereka tidak sesuai dengan apa yang tertulis di dalam cangkang pembungkus kartu SIM. Masalah ini tentu bukan ranah kami untuk mengulitinya, yang jelas di lapangan yang terjadi seperti itu.
Satu harapan yang harus selalu ada dengan doa yang terus dipanjatkan agar kondisi seperti ini segera berakhir. Penanaman optimisme kepada peserta didik selalu digaungkan disamping kesabaran dan keikhlasan menerima hal ini sebagai cobaan dan ujian.
Kerinduan bertatap muka menjadi hal istimewa yang sangat didamba. Kebebasan untuk beraktivitas seperti semula menjadi mimpi yang dinanti. Berpakaian seragam, berangkat ke sekolah, belajar bersama di dalam kelas, mengerjakan latihan dan tugas bersama, serta bertatap muka dengan seluruh warga belajar. Suasana membahagiakan nan dirindu tanpa harus berkutat memikirkan apakah masih ada kuota untuk esok hari.