Selamat Hari Imlek 2025: Semarak Tahun Ular Kayu dalam Kebijaksanaan dan Kerukunan
Imlek, atau Tahun Baru Cina, adalah salah satu perayaan terpenting dalam budaya Tionghoa yang dirayakan berdasarkan kalender lunar, yang disebut juga sebagai Yingli. Berbeda dengan kalender Masehi, penanggalan kalender lunar menggunakan hitungan bulan mengitari matahari. Maka dalam kalender Gregorian atau Kongzili, tanggal perayaan Imlek selalu berubah setiap tahunnya.
Setiap pergantian tahun China memiliki ciri khas tersendiri yang masyarakat China kenal dengan istilah 'shio'. Shio merupakan sistem astrologi Tionghoa yang menggunakan 12 hewan sebagai simbol untuk mewakili tahun, bulan, dan jam tertentu. Hewan-hewan tersebut adalah Tikus, Kerbau, Macan, Kelinci, Naga, Ular, Kuda, Kambing, Monyet, Ayam, Anjing, dan Babi. Dan tahun ini kita akan memasuki Tahun Ular Kayu yang dianggap membawa energi positif yang melimpah. Shio Ular, yang merupakan shio keenam, melambangkan kebijaksanaan, kecerdikan, dan kemampuan beradaptasi.
Di berbagai daerah di Indonesia, perayaan Imlek dirayakan dengan meriah oleh masyarakat Tionghoa beserta tetangga-tetangga mereka dari berbagai latar belakang. Di kawasan Glodok, Jakarta, misalnya, ribuan orang datang untuk menyaksikan tarian barongsai, menikmati kuliner khas, dan ikut serta dalam berbagai acara budaya. Ada juga si amplop merah berisi uang, salah satu tradisi yang kita kenal adalah pemberian angpao. Karena warna merah melambangkan keberuntungan dan kebahagiaan. Tradisi ini sering kali dilakukan tidak hanya di antara anggota keluarga, tetapi juga diberikan kepada teman dan tetangga dari berbagai latar belakang sebagai simbol kebersamaan dan saling berbagi kebahagiaan.
Sejarah perayaan Imlek di Indonesia dimulai sejak kedatangan masyarakat Tionghoa pada masa kolonial Belanda. Pada awal kedatangan mereka, masyarakat Tionghoa membawa serta tradisi Imlek yang menjadi bagian penting dari kehidupan sosial dan budaya di Indonesia. Selama masa Orde Baru, perayaan Imlek menghadapi banyak pembatasan. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 membatasi segala bentuk perayaan tradisi dan keagamaan Tionghoa, termasuk Tahun Baru Imlek. Perayaan Imlek hanya diperbolehkan di lingkungan keluarga dan harus dilakukan secara tidak mencolok. Meskipun demikian, masyarakat Tionghoa tetap mempertahankan dan meneruskan tradisi Imlek secara privat.
Setelah runtuhnya Orde Baru pada tahun 1998, angin perubahan mulai berembus. Pada tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mencabut berbagai aturan diskriminatif melalui Inpres Nomor 26 Tahun 1998. Langkah besar lainnya terjadi pada masa pemerintahan Presiden Megawati, ketika Imlek resmi menjadi hari libur nasional lewat Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2002. Sejak saat itu, perayaan Imlek diadakan secara nasional oleh Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia dan dihadiri oleh pejabat negara. Hal ini menunjukkan pengakuan dan penghargaan terhadap keberagaman budaya yang ada di Indonesia.
Pada masa sekarang, perayaan Imlek menjadi momentum untuk mempererat kerukunan antarumat beragama dan antarsuku. Di berbagai daerah, kita dapat melihat bagaimana masyarakat Tionghoa merayakan Imlek bersama-sama dengan teman dan tetangga dari berbagai latar belakang. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, perayaan Imlek diwarnai dengan berbagai kegiatan budaya, seperti pentas barongsai, bazar kuliner, dan pawai lampion. [Alam]