DIGITALISASI PENDIDIKAN DI MASA PANDEMI: SEBUAH PERUBAHAN RUANG SOSIAL
DIGITALISASI PENDIDIKAN DI MASA PANDEMI: SEBUAH PERUBAHAN RUANG SOSIAL
Oleh:
Imas Uliyah
Pandemi Covid-19 memaksa seluruh lini kehidupan bermasyarakat berubah bentuk. Banyak bidang dipaksa bergeser ruang ke ranah digital, termasuk di dalamnya bidang pendidikan, sehingga kemudian era ini juga dikenal sebagai masa digitalisasi pendidikan. Dalam menggambarkan ruang sosial, digitalisasi pendidikan menggambarkan perubahan praksis-praksis seseorang dalam mempertahankan eksistensinya dalam skala yang lebih dinamis. Kedinamisan tersebut sangat menarik untuk diperhatikan, terutama mengingat struggle yang dilewati masyarakat terutama dalam proses transformasi pendidikan ke dalam bentuk digital. Sebuah keadaan yang menggambarkan bahwa perubahan tidak hanya semata terjadi kepada dunia pendidikannya saja, tetapi juga kepada para pelaku termasuk ruang sosial di mana para pelaku tersebut berada.
Ruang sosial yang pertama adalah perubahan tahap awal. Perubahan tahap awal merupakan gambaran tahun pertama pandemi, yaitu masa di mana masyarakat yang semula hanya mengenal konsep pembelajaran tatap muka (di sekolah, kampus, atau tempat-tempat pendidikan lainnya) kemudian secara terpaksa harus mengikuti pembelajaran daring (baca: dalam jaringan/online). Keadaan ini menuntut kesiapan masyarakat dan sangat bergantung pada kekuatan kapital ekonomi, sosial, dan budaya. Kapital ekonomi dalam hal ini direpresentasikan dalam kesiapan perangkat yang dibutuhkan sepanjang pembelajaran daring berlangung (HP, Laptop, jaringan, sinyal, dan kuota). Adapun kapital sosial direpresentasikan dalam bentuk kemudahan akses dan spefikasi perangkat yang digunakan, serta kemudahan dalam penerimaan informasi. Sedangkan kapital budaya akan tampak dalam keterbukaan dalam mengikuti setiap perubahan pola dan sistem pembelajaran selama proses digitalisasi ini berlangung. Kapital budaya ini di dalamnya meliputi latar belakang pendidikan orang tua dan lingkungan masyarakat sekitar dalam menyikapi keadaan. Salah satu sikap yang dimaksud adalah bentuk kesadaran bahwa pembelajaran daring lebih dibutuhkan saat ini demi keselamatan bersama.
Perubahan tahap awal ini menemui kendala yang sangat besar, terutama saat berhadapan dengan masyarakat dengan kapital ekonomi, sosial, atau budaya yang kurang baik. Masyarakat tidak hanya bergelut dalam konteks mengubah kebiasaan hidup, namun juga dengan kesulitan mengupayakan menyamakan kekuatan kapital ekonomi dan sosial: penyediaan perangkat (minimal HP), jaringan internet/sinyal yang sulit, dan pembelian kuota sehingga informasi dapat lebih mudah diakses. Kesulitan terbesar pada perubahan tahap awal juga terjadi pada msayarakat dengan kapital budaya yang rendah. Kapital budaya dalam konteks latar belakang pendidikan dan lingkungan sangat berpengaruh besar dalam proses digitalisasi pendidikan. Tidak sedikit, masyarakat dengan kemampuan kapital ekonomi dan sosial sangat baik justru tidak mendukung pembelajaran daring karena pemahaman dan gagap kebudayaan, sehingga pilihannya hanya berdasarkan untung rugi secara pribadi (seperti capek mengajari/mengawasi anak yang belajar di rumah) bukan berdasarkan sikap memahami situasi dan mengutamakan kesehatan/keselamatan bersama. Selain itu, kesulitan tahap ini juga muncul dari etos belajar siswa. Situasi yang membuat siswa memiliki perangkat masing-masing (minimal HP) kadang membiaskan keadaaan, yaitu siswa menjadi lebih fokus pada penggunaaan HP untuk selain kegiatan belajar.
Ruang sosial kedua merupakan tahap pertengahan. Tahap pertengahan ini dapat dikatakan representasi keadaan saat ini, yaitu saat pandemi sudah memasuki tahun kedua. Tahap pertengahan ini merupakan masa di mana meskipun seluruh masyarakat telah dan tengah cukup lama menjalani pendidikan daring, namun faktanya dorongan kepada penyelenggara pendidikan untuk segera melakukan pembelajaran tatap muka cukup besar, bahkan cenderung masif dilakukan oleh orang tua. Hal ini dimungkinkan terjadi karena masyarakat tengah berada pada titik jenuh terhadap kondisi yang semakin membatasi ruang gerak, namun upaya pengawasan pada anak (terutama dalam belajar) harus dilakukan secara ekstra. Keadaan ini cukup menyulitkan bagi para penyelenggara pendidikan, mengingat keinginan masyarakat untuk segera melakukan pembelajaran tatap muka sangat berbenturan baik dengan kebijakan pemerintah, maupun dengan situasi penyebaran virus. Tahap pertengahan ini diindakasikan masih banyak dialami oleh masyarakat di luar kota-kota besar dengan kapital ekonomi, sosial, dan budaya menengah.
Ruang sosial ketiga merupakan tahap akhir. Tahap akhir ini merupakan representasi dari keberterimaan perubahan secara utuh. Tahap di mana masyarakat di dalamnya telah mampu menjadikan pendidikan digital sebagai bagian dari kebutuhan dan gaya hidup. Masyarakat yang sudah sampai pada tahap ini tidak lagi merasakan bahwa pembelajaran daring lebih buruk dibandingkan dengan pembelajaran tatap muka. Justru sebaliknya, masyarakat pada tahap ini memiliki pandangan bahwa proses belajar mengajar memiliki keluwesan dalam pelaksanaan, sehingga memungkinkan setiap pelaku pendidikan (guru, siswa, orang tua) dapat menggali kemampuan secara maksimal.
Dari ketiga ruang sosial yang tercipta akibat dari digitalisasi pendidikan menunjukkan bahwa masyarakat memiliki potensi untuk mengubah perilaku yang kemudian secara tidak langsung juga mengubah ruang sosial masyarakat. Saat ini, masayarakat Indonesia tengah mengikuti arus perubahan itu, ada yang sudah mencapai tahapan akhir, namun tidak sedikit masyarakat yang masih terseok-seok di tahapan tengah, bahkan awal. Sebuah tantangan bagi perubahan wajah pendidikan Indonesia.