
Perempuan Bukan Bayangan Tetapi Cahaya Perubahan
Tidak ada orang yang memilih untuk dilahirkan dimana, berjenis kelamin apa, dan kehidupan yang bagaimana. Terlahir sebagai seorang perempuan merupakan suatu anugrah yang telah diberikan oleh tuhan dan harus disyukuri. Akan tetapi di zaman sekarang, perempuan dipandang sebelah mata, terutama oleh pria. Pria menganggap bahwa perempuan itu lemah, manja, tidak perlu bekerja, dan tidak perlu berpendidikan tinggi karena ujung-ujungnya perempuan hanya akan berada di dapur.
Akan tetapi pada kenyataannya, perempuanlah yang sudah berperan penting dalam berbagai sektor kehidupan, mulai dari dunia pendidikan, kesehatan, ekonomi, hingga politik. Banyak perempuan Indonesia yang telah menorehkan prestasi gemilang, baik di tingkat nasional maupun internasional, meskipun seringkali menghadapi hambatan yang lebih besar dibandingkan dengan laki-laki. Sejarah telah mencatat bahwa perempuan adalah bagian penting dari perubahan. Perubahan ini dimulai dari zaman Kartini hingga era digital hari ini.
Raden Ajeng Kartini merupakan perempuan Jawa yang lahir pada 21 April 1879. Ia telah lebih dulu menyuarakan pentingnya pendidikan bagi perempuan. Ia tidak hanya menulis, tapi juga menyalakan api semangat emansipasi yang kini dinikmati oleh jutaan perempuan Indonesia. Kartini percaya bahwa perempuan cerdas adalah kunci bagi bangsa yang maju.
Semangat itu kini menjelma dalam berbagai wajah, seperti guru, dokter, pengusaha, pejabat publik, Dan lain-lain. Di sini, kita bisa melihat bagaimana perempuan bukan hanya peserta, tetapi juga instruktur, fasilitator, hingga pemimpin yang aktif membangun kualitas SDM di Indonesia.
Tidak sedikit perempuan yang kini aktif di sektor pendidikan dan kesehatan yang menjadi garda terdepan dalam memberikan pelayanan dan pengetahuan. Bahkan di bidang ekonomi, mereka menggerakkan UMKM, menciptakan lapangan kerja, dan berinovasi di tengah tantangan zaman.
Namun perjuangan belum selesai. Di balik pencapaian itu, masih ada ketimpangan yang harus dijembatani. Hari Kartini bukan sekadar seremoni memakai kebaya dan menyanyikan lagu “Ibu Kita Kartini”, melainkan momentum untuk merefleksikan: sudahkah kita benar-benar memberi ruang yang setara bagi perempuan untuk tumbuh dan memimpin?
Kartini pernah menulis, “Gadis yang cerdas tidak takut untuk menyampaikan kebenaran, meski ia harus berdiri sendiri.” Kini, perempuan tidak lagi berdiri sendiri. Mereka berdiri bersama, saling mendukung, dan saling mengangkat satu sama lain. [Raisya dan Qori]