PJJ Bukanlah PJJ

PJJ Bukanlah PJJ

PJJ Bukanlah PJJ

Oleh : Rizki Adistya, S.Si

 

Kisah ini berawal pada bulan Maret 2020. Seketika suasana sekolah yang tadinya penuh dengan aktivitas berubah menjadi tenang, sepi seperti planet tanpa penghuni. Pandemi mengubah segalanya dengan cara yang ekstrim. Mulai dari sektor kesehatan, ekonomi  termasuk juga dalam sektor pendidikan. Kegiatan pembelajaran konvensional dengan sangat terpaksa dilakukan dengan tanpa tatap muka. Hal ini memunculkan istilah pembelajaran jarak jauh (PJJ) seperti yang kita kenal sekarang. Sebenernya PJJ ini bukan hal yang baru karena beberapa kampus di Indonesia sudah melakukan metode ini sejak lama. Kalau dilihat dari keunggulan ataupun kelemahan tentu saja setiap hal punya keduanya dan tentu saja sudah banyak tulisan dan  kajian yang membahas mengenai metode-metode terbaik dalam melaksanakan PJJ. Dan karena sudah banyak yang membahasnya, tentu saja penulis tidak akan membahas hal tersebut. Jadi apa donk yang dibahas? Karena penulis hanya seorang guru biasa yang biasa saja, hehe. Jadi di tulisan ini penulis hanya akan memberikan opini dan cerita pengalaman selama mengajar secara daring selama setahun ke belakang.

Di awal kegiatan PJJ tentu saja penulis mengalami kebingungan yang luar biasa. Lah kok bisa? Ya bisa lah. Segala sesuatu yang berubah secara ekstrim pasti menimbulkan masalah ekstrim pula. Kalau tidak percaya coba saja pindah rumah dari negara tropis ke kutub utara. Hehe. Hal yang membuat bingung di awal kebijakan PJJ ini.  Pertama, media yang akan digunakan. Sebenarnya karena penulis tidak gaptek-gaptek amat dan  tentu saja hal ini bukan masalah kompleks  bagi penulis. Video pembelajaran di Youtube, media chat (misal : Whatsapp), google formulir, Quizizz, dan lain-lain pernah penulis gunakan sebagai media transfer pengetahuan bagi peserta didik. Hal yang menjadi permasalahan justru adalah dari sisi peserta didik. Di tempat penulis mengajar sebagian besar peserta didik berasal dari keluarga menengah dan sebagian (mungkin beberapa) dari mereka tidak memiliki akses teknologi secara penuh. Tentu saja ini menjadi salah satu hambatan berarti yang mungkin tidak hanya dialami penulis tapi juga ratusan bahkan mungkin ribuan guru yang bertugas di pelosok Indonesia. Kedua,  di awal-awal kebijakan PJJ belum ada kesepakatan mengenai tata cara dan metode pembelajaran dan media pembelajaran yang digunakan. Penulis dan guru-guru lain mengajar dengan cara yang cenderung random sehingga kadang membingungkan dan memberikan tekanan batin kepada peserta didik. Ketiga, penilaian kepada peserta didik cenderung terlihat  menjadi kabur karena tidak ada tatap muka secara langsung. Penilaian hanya sekadar dilihat dari banyaknya tugas yang dikumpulkan dan besar nilai ulangan harian maupun ulangan semester. Sementara penilaian secara kepribadian, sikap, dan keaktifan (berbicara, berpendapat, berani maju ke depan) harus dikesampingkan terlebih dahulu. Namun seiring berjalannya waktu, tentu saja sebagian masalah-masalah tersebut dapat diatasi. Banyak muncul aplikasi-aplikasi penunjang PJJ seperti Zoom Meeting, Elearning Madrasah (yang menurut penulis sangat membantu dalam PJJ), dan lain-lain. Selain itu juga muncul pelatihan-pelatihan dan seminar-seminar yang membantu guru untuk menentukan metode dan media terbaik dalam PJJ.

Jika dibaca ulang lagi pemaparan di atas, tentu saja kita dapat menyimpulkan bahwa masalah pokok PJJ ini ada di peserta didik. Wajar saja, karena fokus utama dari pendidikan ini siapa lagi kalau bukan peserta didik. Pendidikan sesungguhnya bukan hanya sekadar transfer pengetahuan atau keterampilan tapi juga transfer pengalaman, kepribadian, dan semangat. Media PJJ mungkin bisa menampung sebagian transfer tersebut tapi tidak semua. Nasihat guru agama lewat chat di grup Whatsapp tidak akan sama rasanya dengan nasihatnya ketika disampaikan di kelas. Pendekatan guru BK lewat media video motivasi tidak akan sama rasanya dengan pendekatan psikologis dari hati ke hati ketika siswa berkonsultasi di ruang BK. Dan ehm, omelan wali kelas dan kesiswaan di kelas virtual tidak akan sama rasanya dengan omelan mereka di kelas nyata (catatan : kadang omelan ini juga penting bagi siswa asal porsi dan caranya sesuai). Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) mungkin tidak akan bisa menjadi Pendidikan Jarak Jauh (PJJ). Secanggih apapun teknologi tidak akan bisa meng-copy kecanggihan seorang pendidik (profesional) dalam memberikan pengalaman dan ilmunya di kelas. Sehebat apapun video motivasi tidak akan bisa memberikan motivasi sebaik seorang pendidik (profesional) yang memberikan tauladan langsung yang motivatif di sekolah.

Tentu saja pembelajaran jarak jauh yang kita jalani ini harus kita terima sebagai sebuah keadaan baru yang harus kita terima dengan segala kelebihan dan kekurangannya.  Keadaan baru ini tidak seharusnya menjadi sebuah demotivasi bagi kita dalam menjalankan tugas pokok kita sebagai seorang pendidik.

Lekas pulih negeriku, lekas pulih Indonesia.