Aku Rindu Melihat Jendela Hati Itu

Aku Rindu Melihat Jendela Hati Itu

Aku Rindu Melihat Jendela Hati Itu

Oleh: RAHMAH SEKAR BRAYANTAMI

Mengajar, salah satu hal yang membuatku bahagia melakukannya. Bagiku, pekerjaan ini membuatku kembali belajar. Beberapa tahun lalu, awal aku mengajar, fokusku hanya belajar tentang materi pelajaran yang akan aku sampaikan. Aku harus memahami pemahaman yang luas. Jangan sampai, ketika ada siswaku yang bertanya, aku tidak bisa menjawab. Malu rasanya. Seiring waktu, aku sadar, aku juga harus belajar mengenali karakter siswaku, serta mengenali bagaimana tipe belajarnya.

Tiba-tiba aku teringat dengan salah seorang dosenku semasa kuliah S1 dulu, pak Adhi namanya. Setiap selesai menyampaikan materi, beliau selalu bertanya pada kami semua, “Bagaimana Nak, paham?”. Terkadang kita menjawabnya dengan anggukan, seolah paham, padahal masih ada rasa bingung di diri ini, termasuk aku. Herannya, Pak Adhi selalu bisa mengetahui kami sedang berbohong. Beliau dengan sabar selalu mengulangi lagi penyampaiannya, sampai kami benar-benar paham. Aku kagum, bagaimana bisa beliau menebak isi pikiran kami.

Suatu saat, salah seorang teman di tempat kerjaku dulu, berkata “Jangan lupa tatap mata anakmu*, Tam”. Aku tersentak. Astagfirullah, bagaimana bisa aku yakin siswaku paham dengan apa yang baru saja aku jelaskan, hanya dengan mendengar iya menjawab “Paham, Bu”, ketika aku tanya pemahamannya.  Dari situ aku mulai mencoba menatap mata siswaku tiap kali aku mengajar. Hal yang dalam Bahasa Inggris disebut eye contact ini buatku sangat sakti. Selain bisa membuatku lebih yakin dalam menentukan tingkat pemahaman siswaku, kontak mata juga membuat bounding** antara aku dan mereka semakin erat.

Rindu. Mengingatnya kini membuatku rindu. Pandemi ini membuat aku tidak lagi bisa menatap mata siswa-siswiku. Meski kehadiran zoom cloud meeting, google meet, skype, dan aplikasi video call lainnya membantu penyampaian materi pembelajaran selama daring ini lebih maksimal, tetapi tetap saja aku tidak bisa lagi melakukannya. Aku memang bisa menatap wajah mereka melalui kamera, tapi tidak dengan tatapan mata mereka. Jendela hati itu kini terasa samar.

Maafkan Ibu jika ternyata kamu masih belum memahami penjelasan Ibu tadi, Nak. Semoga semangat dan jiwa mandiri tetap ada di dirimu. Segera setelah pandemi ini berakhir, Ibu harap bisa melihat binar matamu yang berkata “Pandemi tidak mampu mengalahkan semangatku. Inilah aku dan kesuksesanku.”