ANCAMAN DI BALIK PJJ

ANCAMAN DI BALIK PJJ

ANCAMAN DI BALIK PJJ
Oleh
H. Aam Muamar

Jika Mendikbud Nadiem Makarim menyatakan bahwa tahun ajaran baru 2020/2021 tidak ada lagi tawar-menawar untuk belajar tatap muka. Argumentasi ini tentunya sangat beralasan, mengingat sudah terlalu berat beban masalah pendidikan kita dengan dua tahun pandemic selama ini.
Hilangnnya kompetensi siswa dan meningkatnya pernikahan anak, merupakan dua persoalan nyata yang ada di hadapan mata, akibat dari pandemic terhadap dunia pendidikan. Nampaknya mau-tidak mau, awal tahun pembelajaran ini, tatap muka harus dilaksanakan untuk meminimalisir dampak berikuntnya yang lebih besar di kemudian hari.
Laksana menelan pil pahit, pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang sudah lebih dari dua tahun pelajaran ini berlangsung, ternyata menyisakan banyak persoalan dalam dunia pendidikan nasional. Kalau bukan karena terpaksa, tentunya sudah sejak awal PJJ ini tidak kita jadikan sebagai alternatif pembelajaran selama ini, namun apa boleh dikata, semuanya hadir dalam kondisi di luar sangkaan. Hampir tidak ada lagi pilihan lain, selain PJJ diangkat sebagai solusi pembelajaran selama pandemic Covid 19 ini.
Bukan hanya karena persoalan ketidaksiapan secara teknis, namun dari sisi sumber daya pun kita benar-benar shok dibuatnya. Seperti mimpi buruk di tengah siang bolong, di tengah-tengah kenyamanan kita dalam melangsungkan pembelajaran konvensional selama ini, teknologi informasi bekum begitu familier bagi sebagian besar tenaga pendidik dan kependidikan kita, demikian pula peserta didik.
Bukan karena tidak disadari akan dampak buruk terhadap dunia pendidikan kita selama ini, namun PJJ dianggap strategi yang relatif lebih aman jika dibandingkan dengan tatap muka. Namun karena belum didukung dengan kesiapan struktur dan infrastruktur kita, nampaknya ketidakoptimalan tujuan pendidikan dirasakan di sana-sini. Kondisi ini diakui benar oleh pemerintah. Menteri pendidikan dan Ristekdikti, Nadiem Makarim, menyatakan bahwa perlu Sembilan tahun untuk memulihkan kondisi pendidikan nasional pasca pandemic ini (pikiranrakyat.com/27/05/2021).

Hilangnya Kompetensi Belajar
PJJ yang lebih mengedepankan pembelajaran secara daring melalui jaringan internet dengan media gudget, tentunya tidak akan selengkap dan sekomprehensif belajar tatap muka. Karena tidaklah heran jika keseriusan dan motivasi belajar peserta didikpun mengalami banyak penurunan. Salah satu indikatornya adaklah kurangnya tingkat kehadiran mereka di setiap pembelajaran.
Berdasarkan laporan dari guru-guru binaan penulis, lebih dari 70% mereka menyatakan bahwa rata-rata kehadiran peserta didik dalam setiap pertemuan adalah 50%. Pertanyaannya kemana yang separohnya lagi? Entah dimana, mungkinkah mereka dapat mengejar ketertinggalan pelajaran kepada teman-temannya atau melalui bimbingan orang tuanya. Atau malah mereka mengangagap hal itu sebagai sebuah kewajaran di saat pemebelajaran tidak lagi berhadapan dengan gurunya secara langsung. Persoalan apakah, mereka mampu mengejar target kurikulum atau tidak, mungkin hanya sebagian kecil saja dari mereka yang peduli. Selebihnya apriori dan tidak merasa tidak dituntut. Apalagi jika sikap orang tua di rumahnya yang sama-sama tidak peduli dengan progres pembelajaran anak-anaknya, tentu akan lebih memperburuk keadaan mereka.
Seperti disinyalir oleh  banyak ahli bahwa PJJ dengan system daring ini berpotensi untuk terjadinya lost learning (tidak mendapatkan layanan pembelajaran) dan meningkatnya angka pernikahan anak. Zoom meeting yang selama ini dijadikan media untuk pembelajaran, banyak berdampak pada zoom vertigo atau kelelahan dalam mengikuti zoom. Media komunikasi yang satu arah ini relatif lebih cepat menghadirkan kelelahan bagi peserta didik jika dibandingkan dengan tatap muka.
Berlama-lama di hadapan monitor dengan istem komunikasi yang satu arah ditambah dengan gangguan teknis, memudahkan seseorang untuk mengalami kelelahan dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Belum lagi jika guru tidak memiliki keteramplan yang mumpuni untuk menyiasati untuk menghadirkan pembelajaran daring yang lebih menarik dan komunikatif, tentu akan lebih memperparah kualitas pembelajaran.
Seperti yang diakui oleh Dirjen GTK Madrasah Kementerian Agama RI, Moh Zein,  bahwa fenomena kelelahan belajar  yang berujung dengan kebosanan peserta didik ini berdampak pada tinginya angka putus sekolah (lost learing) di kalangan peserta didik. Banyak peerta didik yang tidak lagi merasa tertantang untuk mengikuti pembelajaran, bahkan ada juga yang udah merasa tertarik untuk menyeleaikan beban kurikulum dalam dua tahun pembelajaran terakhir ini 2019/2020 dan 2020/2021.
Berbeda dengan item pembelejaran tatap muka, PJJ menghilangkan kesempatan peserta didik untuk memacu diri dalam meningkatkan kompetensi diri. Kelelahan fisik yang berdampak pada kelelahan psikis, tentunya akan menjadikan hambatan bagi peserta didik.
Menurut para ahli psikologi, bila peserta didik mengalami hal berikut, ciri bahwa mereka mengalami kelelahan secara psikis.

  1. Kurang sabar. Saat mental sedang lelah, hal-hal kecil menjadi tidak dapat ditoleransi. Sebabnya, cadangan emosi semakin sedikit Apabila mendapati diri kehilangan kesabaran pada hal-hal yang sebelumnya tidak menjadi masalah, bisa jadi itu tanda kelelahan mental.
  2. Mudah tersinggung. Kelelahan mental dapat menyebabkan seseorang terjebak dalam mode pertarungan sepanjang waktu. Dirinya dapat terus-menerus gelisah dan mudah tersinggung. Hal ini dikarenakan tubuh merasa perlu waspada terhadap segala kemungkinan bahaya di lingkungan sekitar.
  3. Sulit konsentrasi. Memikirkan banyak hal pada waktu bersamaan memang bisa membuat seseorang kehilangan fokus dan sulit berkonsentrasi pada suatu tugas dalam satu waktu. Tetapi, jika ternyata sulit berkonsentrasi pada hal apa pun, maka bisa menjadi tanda bahwa otak lemah dan beberapa fungsi dasarnya mengalami gangguan.
  4. Terlalu banyak makan camilan. Kelelahan mental dapat membuat seseorang makan banyak camilan. Bahkan persediaan di rumah menjadi cepat habis. Hal ini dikarenakan saat mental sedang lelah, otak kurang mampu membuat keputusan tepat. Tubuh lebih memprioritaskan kebutuhan untuk bertahan hidup.
  5. Insomnia. Kelelahan mental bisa mengakibatkan masalah gangguan tidur yakni insomnia. Seseorang merasa sulit untuk tidur. Kondisi ini terjadi ketika tubuh mengalami kelelahan secara mental, tetapi tidak dapat memasuki mode relaksasi.
  6. Istirahat tidak membantu. Kelelahan mental tak selalu menyebabkan insomnia. Bisa juga waktu tidur dan istirahat fisik cukup, tetapi tidak mampu membuat tubuh merasa segar. Jika demikian, hal yang perlu dilakukan adalah meningkatkan perawatan diri.
  7. Terbebani dengan tugas kecil. Kelelahan secara mental membuat semua hal terasa sulit. Bahkan tugas-tugas kecil seperti melipat cucian rasanya sulit untuk dilakukan.
  8. Mati rasa. Beberapa orang mungkin akan menangis atau kesal saat kelelahan mental. Namun, ada yang tidak merasakan apa-apa terhadap hal buruk ataupun baik, alias mati rasa. Hal itu dikarenakan sudah merasa terlalu lelah dengan hidup sehingga tidak dapat memproses emosi dan tidak peka.
  9. Lebih sering berdebat. Kelelahan mental membuat ketegangan terus meningkat. Akibatnya, seseorang menjadi lebih sering berdebat dan tidak sepakat dengan pendapat orang lain. (Kompas.com)

Ancaman Pernikahan Anak
Di sisi lain, ketika anak semakin dekat dengan dunia maya, dimana gadget sudah menjadi teman di keseharian mereka, tidak jarang yang menggunakannya sebagai media pelampiasan akan kelelahan ini. Sebagaian besar dari peserta didik berselancar di dunia maya dengan mengunduh atau mengakses laman-laman atau situs yang sejatinya tidak untuk usia mereka. Pornograpi dan pornoaksi yang mereka tonton di media social, telah banyak mengetahui cara berpikir mereka tentang seks sehingga tidak jarang dari mereka mengakhirinya dengan poernikahan. Apakah pernikahan itu karena keterpaksaan (nikah karena kecelakaan) atau karena tidak ada lagi aktivitas yang dianggapnya lebih dapat memebrikan harapan bagi masa depan mereka. Sekolah yang selama ini dijadikan sebagai sandaran bagi menggapai masa depan, dan dengan sekolah itu mereka dapat melupakan pikiran atau keinginan untuk mengakhiri masa mudanya dengan berumah tangga, sudah tidak lagidapat diharapkan, karena pertemuannya saja sudah tiak dapat dilakukan sebagaimana mestinya. Akhirnya menikah di usia anak, menjadi pilihan hidup bagi sebagian anak-anak didik kita.
 
Berdasarkan catatan Menko bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), yang juga mantan Menteri pendidikan dan kebudayaan, Muhadjir Effendy, bahwa Perkawinan anak marak terjadi di Indonesia pada masa pandemi Covid-19. Berdasar data dari Ditjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung, dispensasi nikah anak pada tahun 2020 yang dikabulkan melonjak 300 persen dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2019 tercatat hanya 23.126 dispensasi. Selanjutnya di tahun 2020 tercatat sebanyak 64.211 dispensasi.
Padahal jika mengacu Kepada regulasi yang ada, aturan berkaitan dengan pencegahan pernikanhan anak ini, pemerintah telah memiliki landasan hukum terkait perkawinan anak. UU Perkawinan No. 16 Tahun 2019 telah menaikkan usia minimal untuk menikah bagi perempuan dan laki-laki, yaitu 19 tahun. Namun, hal itu tidak serta-merta menjamin perkawinan anak dapat dicegah.
Karenanya Muhadjir mengajak semua pihak untuk ikut mengambil bagian dalam mengatasi persoalan yang tengah terjadi ini. Menurutnya pemerintah tidak bisa memecahkan persoalan ini secara sendiri, melainkan harus ada keterlibatan banyak pihak, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) selaku lembaga social yang memiliki peran penting dalam mengedukasi dan membimbing masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim ini agar benar-benar dapat menghindari pernikahan anak ini.
Alasannya sederhana, bahwa pernikahan anak ini rentan untuk terjadinya ketidakharmonisan mereka dalam membina rumah tanggganya, termasuk kemungkinan untuk tidak dapat melahirkan generasi yang lebih sehat, karena di usia yang masih belasan tahun (kurang dari 19 tahun) perempuan belum siap secara biologis untuk mengandung , melahirkan dan membesarkan anak.
Jika Mendikbud Nadiem Makarim menyatakan bahwa tahun ajaran baru 2020/2021 tidak ada lagi tawar-menawar untuk belajar tatap muka. Argumentasi ini tentunya sangat beralasan, mengingat sudah terlalu berat beban masalah pendidikan kita dengan dua tahun pandemic selama ini.
Hilangnnya kompetensi siswa dan meningkatnya pernikahan anak, merupakan dua persoalan nyata yang ada di hadapan mata, akibat dari pandemic terhadap dunia pendidikan. Nampaknya mau-tidak mau, awal tahun pembelajaran ini, tatap muka harus dilaksanakan untuk meminimalisir dampak berikuntnya yang lebih besar di kemudian hari. ***(Am’s)