Dampak Psikologis Pembelajaran Daring di Masa Pandemi Covid 19
  • 13 Agustus 2021
  • 10500x Dilihat
  • Gumeulis

Dampak Psikologis Pembelajaran Daring di Masa Pandemi Covid 19

Dampak Psikologis Pembelajaran Daring di Masa Pandemi Covid 19

Eti Karwati, S.Ag.

Guru Al-Qur’an Hadits  MAN Bandung Barat

Sudah hampir 1,5 tahun pandemi covid 19 belum juga berakhir dan selama itu pula pembelajaran tatap muka di negara yang kita cintai ini belum bisa sepenuhnya dilaksanakan, kita masih belajar secara daring (dalam jaringan). Kebijakan ini sebenarnya sesuatu yang menjadi dilema, di satu sisi pemerintah harus memprioritaskan keamanan dan kesehatan demi menghindari life-loss ataupun health-loss, di sisi lain ada  kekhawatiran terjadinya learning-loss bagi siswa sebagai generasi yang diharapkan menjadi penerus bangsa ini. Hal ini disebabkan oleh keadaan yang kurang sempurnanya pelaksanaan pembelajaran secara daring dibanding dengan pembelajaran tatap muka.

Kebijakan penerapan pembelajaran dari rumah untuk siswa dan work from house (WFH) untuk pendidik dengan sistem daring berdampak pada psikologis siswa, guru, bahkan orang tua. Dampak psikologis ini lahir dari penyesuaian-penyesuaian manusia terhadap kebiasaan hidup normal baru. Sebagai ilustrasi akan diutarakan dalam paparan berikut.

Pertama, dampak psikologis terhadap guru sebagai pendidik. Guru sebagai pendidik haruslah siap dalam waktu yang singkat untuk menguasai teknologi informasi. Sedangkan menurut penelitian, Darmawan (2013) dalam berbagai hasil penelitian dan tulisan, mensinyalir ada sekitar 70 s/d 90% guru dalam pemanfaatan kemajuan TIK dalam proses pembelajaran dan kegiatan lain dianggap masih gagap teknologi. Berkenaan dengan pembelajaran daring (online) yang mengharuskan guru menggunakan teknologi informasi, maka kegagapan ini akan menjadi kendala utama untuk terselenggaranya pendidikan daring secara maksimal, guru harus segera menguasai teknologi informasi sekaligus menerapkannnya dalam pembelajaran.

Ada tiga jenis penerapan teknologi di bidang pendidikan: 1) guru menggunakan teknologi ke dalam pengajaran di ruang kelas, untuk merencanakan pengajaran dan penyajian isi pelajaran kepada siswa; 2) guru menggunakan teknologi untuk presentasi; 3) guru menggunakan teknologi untuk mengerjakan tugas administrasi yang terkait dengan profesinya, seperti penilaian, pembuatan catatan, pelaporan, dan tugas pengelolaan (Mustikasari, dalam Nurhayati, 2016). Agar ketiga hal tersebut dapat terlaksana, maka guru harus menguasai teknologi informasi secara cepat, belajar sekaligus menerapkan yang dipelajarinya itu dalam pembelajaran, tentu bukan hal yang mudah.

Guru yang mempunyai anak, selain harus mengajar secara daring, mereka pun harus mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rutinitas dalam rumah tangganya. Kegiatan ini dilakukan secara bersamaan dalam waktu yang sama, sehingga konsentrasi pekerjaan menjadi terbagi dua, mengajar untuk siswanya, membimbing anak dalam belajar di rumah, serta kegiatan-kegiatan lain, apalagi kalau memiliki anak lebih dari satu orang yang belajar daring di rumah.

Guru sebagai garda terdepan di dunia pendidikan yang harus membentuk dan mempersiapkan siswa sebagai generasi penerus, harus siap dengan berbagai hal terutama menangani permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan kendala-kendala yang dihadapi oleh siswa dalam pembelajaran.

Tugas yang diemban guru tidak hanya melaksanakan pengajaran, namun yang paling penting adalah membentuk karakter, agar siswa mampu menjadi manusia yang berkemampuan dan  berwatak, berkembang sesuai potensinya, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mewujudkan semua itu, bukanlah sesuatu yang mudah, guru dituntut senantiasa ikhlas dan profesional dalam menjalankan tugasnya itu, apalagi harus dilaksanakan secara daring yang serba kekurangan dan keterbatasan.

Kedua, dampak psikologis terhadap siswa. Siswa harus membiasakan diri belajar tanpa mendapatkan bimbingan langsung dari guru. Materi-materi pelajaran yang sulit dipahami dan dikuasai dalam pembelajaran luring (luar jaringan), akan lebih sulit dipahami oleh siswa dengan pembelajaran daring, hal ini mengakibatkan perolehan siswa dalam menguasai materi pelajaran menjadi sangat minim. Selain itu, tugas yang harus dikerjakan oleh siswa makin bertumpuk, sehingga banyak tugas yang tidak terselesaikan. Ketika tugas-tugas itu harus dikumpulkan dalam bentuk soft file dan membutuhkan di upload sangat memerlukan kuota yang tidak sedikit, padahal rata-rata siswa memiliki kuota data sangat terbatas.

Sebagai generasi yang mestinya bersosialisasi dengan teman sebayanya, tiba-tiba harus stay at home dan belajar dari rumah, sehingga kegiatan-kegiatan yang seharusnya dilakukan bersama-sama dengan temannya harus diurungkan dan berdiam di rumah, secara psikologis akan menimbulkan kejenuhan bahkan tidak sedikit dari siswa yang stres yang diakibatkan oleh kejenuhan yang bertumpuk. Kebiasaan baru yang menghendaki kehidupan yang serba terbatas menjadikan anak yang pemurung, malas untuk bergerak, serba terikat dan menimbulkan pada kemalasan yang parah. Hal ini tidak sesuai dengan masa perkembangan anak pada masanya.

Selain itu, siswa menjadi lebih banyak menggunakan gawai dari pada kegiatan-kegiatan yang menumbuhkan penguasaan keterampilan, bahkan godaan yang lebih jauh lagi dari penggunaan gawai ini, anak lebih memilih bermain game, menonton youtube dan kegiatan medsos lainnya dibandingkan dengan belajar, sehingga waktu yang digunakan dalam  belajar lebih sedikit dibandingkan dengan kegiatan medsos ini.

Dalam pembelajaran daring ini sangat dibutuhkan alat komunikasi sebagai sarana pembelajaran, namun masih ada siswa yang masih belum memiliki alat komunikasi yang memadai, karena tidak semua siswa memiliki smartphone, tablet, laptop atau komputer yang kompetibel untuk mengikuti kegiatan pembelajaran. Belum lagi jangkauan jaringan yang terkadang lemah sehingga ikut menghambat kegiatan pembelajaran.

Ketiga, dampak psikologis terhadap orang tua siswa. Orang tua mendapatkan dampak psikologis yang lebih berat lagi. Orang tua yang tidak pernah tahu strategi dan teknik-teknik mengajar serta memahami materi pelajaran, tiba-tiba harus menjadi bagian dan terlibat langsung dalam pembelajaran. Jenjang pendidikan orang tua tentu berbeda, hal ini akan mengakibatkan ketimpangan dalam mengajarkan materi-materi yang sulit yang sebelumnya belum pernah dialami oleh orang tua siswa. Orang tua akan merasa kesulitan untuk mengajarkan materi yang sulit. Bagi Sebagian orang tua kendala ini mungkin bisa teratasi dengan bimbingan belajar, atau mengikuti pembelajaran berbayar lainnya. Namun bagi orang tua yang kurang mampu hal ini tidak dapat dilaksanakan.

Orang tua yang memiliki pekerjaan dan memiliki anak, mereka harus mengerjakan tugas ganda, sebagai pembimbing pembelajaran anaknya di rumah dan bekerja dari rumah sebagai tugas profesionalnya. Apalagi bila kedua orang tuanya harus bekerja di kantor, sedangkan memiliki anak yang masih perlu bimbingan belajar di rumah, hal ini akan merepotkan dan menjadi dilema, mana yang harus dipilih meninggalkan tugas kantor atau mengajar di rumah?

Hal-hal di atas merupakan dampak psikologis saat pandemi dan dampak psikologis setelah pandemi itu akan lebih dahsyat lagi. Barangkali perlu dipikirkan juga masalah psikologis yang timbul setelah pandemi ini berakhir, ada luka yang dalam dan menyisakan berbagai masalah, mulai dari kemalasan, motivasi belajar yang rendah, perolehan pengetahuan dan keterampilan yang sangat minim, sampai kepada pembentukan karakter yang sulit dikontrol oleh guru karena tidak dapat bertemu secara langsung. Pemulihan ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, harus ada solusi tertentu yang perlu dipikirkan oleh guru, orang tua, sekolah, dan pemangku kebijakan di dunia pendidikan. Akankah luka psikologis yang dalam ini dapat disembuhkan? Semoga.

****