DUA MATA PISAU TAJAM

DUA MATA PISAU TAJAM

DUA MATA PISAU TAJAM

Vina Noviana - MAN Bandung Barat

Berbicara Pendidikan di Sekolah, ibarat menggiring ratusan kawanan kambing menuju kandang. Jika kita lengah sedikit saja, kambing bisa saja kabur berkeliaran kemana-mana. Itulah sebabnya pendidikan masih tetap berjalan walaupun saat ini menjalaninya seperti hidup dengan selang infus. Menerapkan pembelajaran yang ideal dengan hasil yang maksimal, merupakan tantangan yang tidak mudah untuk diaplikasikan di tengah situasi kondisi yang kritis ini. Wabah Covid mungkin menjadi momentum paripurna dalam rentetan masalah yang mendera aspek pendidikan dewasa ini.

Covid yang sudah merubah tatanan dalam tubuh pendidikan ini, menjadi titik awal bagi eksistensi dunia teknologi yang tidak mengenal status sosial. Siswa siswi kita, baik dari sekolah modern hingga sekolah pinggiran yang masih menerapkan pembelajaran beriklim tradisional dipaksa untuk “melek” teknologi, agar pembelajaran masih tetap berjalan di tengah situasi pandemi. Lonjakan teknologi yang signifikan ini, memaksa kita berkenalan dengan berbagai aplikasi sebagai media pembelajaran berbasis daring seperti GCR, Ruangguru, Quipper, Zenius, Kelas Pintar, Zoom Meeting dan masih banyak lagi.

Untuk sekolah yang secara sistem sudah terbangun tentu bukan masalah besar dalam menghadapi kebiasaan baru dalam belajar ini. Umumnya di perkotaan, mereka sudah terbiasa hidup dengan teknologi sehingga kesadaran berteknologi sebagai sarana belajar sudah terbangun. Masalah yang baru, justru muncul dari sekolah yang secara ekosistem masih dibangun, umumnya sekolah yang berdiri di daerah-daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal), yang mana mereka harus beradaptasi sangat keras terhadap “barang asing” ini.

Masalah itu salah satunya terkait dengan aspek psikologis remaja ketika berhadapan dengan teknologi. Kebanyakan dari mereka yang berada di daerah pinggiran belum mempunyai intregitas diri yang kuat dalam menghadapi efek negatif dalam mempergunakan gawai sebagai sarana komunikasi alternatif. Alih-alih digunakan untuk belajar, kebanyakan siswa yang mempergunakan gawai yang dibelikan dengan susah payah oleh orang tuanya itu, untuk bermain game dan melakukan aktivitas yang kurang bermanfaat di media sosial, salah satunya pada platform media sosial bernama Tiktok. Tentu saja hal itu menjadi Shock Culture bagi siswa, ditambah kompleksitas masalah yang dihadapi peserta didik cukup beragam, terlebih jika pengawasan orang tua siswa sangat minim terhadap kehidupan anak-anaknya.

Aplikasi yang menjadi candu ini, mengakibatkan perubahan sikap dan perilaku di tengah tugas perkembangan remaja yang sedang mereka jalani. Jika melihat laporan yang dikeluarkan oleh Bloomberg tahun 2020, dari total unduhan 8,5 persen pada Juli 2020, Indonesia memperkuat posisi sebagai negara pengguna TikTok terbesar keempat di dunia. Terdapat sekitar 30,7 juta pengguna TikTok di Indonesia. Hal itu tidak aneh mengingat Indonesia adalah Negara dengan penduduk terbanyak ke 4 di dunia dengan dimana setengah dari penduduknya adalah pengguna internet aktif.

Kian hari, pembelajaran di masa pandemi terlihat kian memprihatinkan. Semua permasalahan yang dihadapi seperti bermuara pada psikologis mereka. Mereka kini makin acuh terhadap guru, motivasi belajar semakin menurun, bahkan kadang bertindak agresif ketika tertekan. Kebiasaan-kebiasaan baik yang sudah lama dibangun pun kini mulai luntur. Semua sibuk sendiri-sendiri dengan gawainya. Kami menyadari sepenuhnya bahwa ini bukanlah semata-mata akibat pengaruh Handphone atau Gawai yang mereka genggam saja, melainkan banyak faktor yang mempengaruhinya.

Dengan terus melakukan introspeksi dan evaluasi dalam pembelajaran yang dilakukan. Sedikit-demi sedikit kami pun menurunkan ego, hingga akhirnya masalahnya terlihat jelas. Kini kita posisikan peserta didik sebagai korban zaman. Jika anak-anak adalah korban, maka yang harus menjadi treatment adalah proses belajarnya, bukan berfokus pada punishment. Kami berupaya agar pemberian tugas harus relate dengan perkembangan zaman dan mainan yang mereka gandrungi saat ini.

Bagaimana merencanakan pembelajaran secara tematik di tengah suasana darurat belajar ini. Yang mana saat ini capaian akademik bukanlah menjadi prioritas utama. Setidaknya ada lima masalah dalam pembelajaran yang timbul dan menjadi bahan analisis. Pertama, melihat masalah yang timbul ini adalah perasaan jenuh yang sangat akut yang mendera siswa, sehingga bermain game menjadi pelampiasan bagi mereka untuk menyingkirkan suasana jenuh dalam diri mereka. Jika masalahnya itu, maka pendidik perlu berupaya sebisa mungkin agar pembelajaran online menjadi wadah yang menyenangkan untuk mereka. Kedua, melihat kegemaran yang timbul dari mereka berupa menonton tayangan-tayangan vidio. Jika perhatian mereka kini beralih pada layar datar, maka harus menyiapkan sesuatu yang bisa mereka tonton yang hubungannya dengan pembelajaran. Ketiga adalah eksistensi, bagaimanapun usia remaja adalah usia mencari jati diri, dan di usia ini, mereka sedang mengerahkan tenaga untuk mencari identitas diri mereka agar mendapat pengakuan dari lingkungan. Jika masalahnya itu maka kita perlu menyiapkan media untuk menyalurkan hasrat pengakuan dari diri mereka.

Dan yang terakhir adalah kecanduan mereka terhadap aplikasi2 seperti Tiktok dan lain sebagainya, jika masalahnya itu, maka ada dua pertimbangan yang dapat dijadikan opsi. Pertama bertindak tegas dalam melarang penggunaan aplikasi Tiktok atau aplikasi lainnya akan tetapi sulit untuk mengawasi hal tersebut. Sedangkan yang ke dua memanfaatkan Tiktok ini sebagai media dalam belajar. Maka opsi yang ke dua yakni “bersahabat” dengan Tiktok atau aplikasi lainnya adalah pilihan yang tepat.

Jika semua masalah sudah teranalisa dan penanganannya sudah terdeteksi, maka upaya yang perlu dilakukan jauh lebih mudah dan efektif, yakni “menjodohkan” kebutuhan mereka dengan kegemaran mereka. Contoh pelajaran SBK mulai mengambil peran dalam menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dengan membuat sebuah acara sederhana bertajuk “Nobar” atau nonton bareng virtual. Film yang mereka tonton adalah tugas dari mata pelajaran SBK pada materi Seni Teater. Mereka membuat sinopsis pendek dari Film tersebut seperti halnya youtuber dan pesera didik membuat vidio sinopsis hasil kreativitas mereka sendiri. Setidaknya ada beberapa mata pelajaran yang sudah tercover dari projek ini. Ketika mereka membuat naskah dialog maka mereka sudah memenuhi tugas mata pelajaran Bahasa Indonesia, pesan moral yang dimuat dalam film itu juga sudah memenuhi tugas dari pelajaran PPKn dan PAI, kemudian ada beberapa scene yang memuat pelajaran IPA, bahasa inggris, Olah Raga, dan IPS. Kemudian untuk mefasilitasi kegemaran mereka dalam bermain game siapkan kuis sederhana di acara tersebut dengan hadiah yang menarik atau pemenang disebutkan di media sosial, disitulah Eksistensi mereka dalam mendapatkan pengakuan dari temannya setidaknya dapat terpenuhi, karena dalam dari vidio sinopsis itu mereka belajar menyampaikan pesan dengan baik, yang mana hal itu mendapat apresiasi dari teman-temannya. Terakhir dalam mensiasati kecanduan mereka terhadap Tiktok. Tiktok yang awalnya dianggap sebagai Virus, malah bisa digunakan sebagai antivirus dari virus itu sendiri. Kami manfaatkan Tiktok sebagai media pembelajaran dan sarana dalam mengekspresikan kreativitas mereka. Melalui Platform Tiktok banyak tugas-tugas yang bisa terakomodir. Mereka umumnya membuat membuat vidio tutorial yang mereka edit sendiri di aplikasi berbasis Android.

Masih banyak upaya yang bisa dilakukan dalam memenuhi kebutuhan siswa dalam rangka mensiasati permasalahan yang terjadi saat ini. Walaupun ketika di lapangan semua berjalan secara dinamis dan terkadang siswa pun telah mencapai titik jenuh dari solusi yang ditawarkan, tapi setidaknya menjadi angin segar di tengah suasana Pandemi yang membatasi mobilitas ini. Pada akhirnya Teknologi ibarat dua mata pisau tajam, di satu sisi akan mendatangkan manfaat, dan di sisi yang lain bisa juga mendatangkan musibah. Hal itu tergantung dari bagaimana kita memperlakukan teknologi. Seperti kata pepatah barat Is not about gun, but the man behind the gun.