DUKUNGAN PSIKOLOGIS AWAL ORANG TUA (DPA): UPAYA PERTOLONGAN PERTAMA PADA DAMPAK PSIKOLOGIS PEMBELAJARAN DARING DIMASA PANDEMI
DUKUNGAN PSIKOLOGIS AWAL ORANG TUA (DPA): UPAYA PERTOLONGAN PERTAMA PADA DAMPAK PSIKOLOGIS PEMBELAJARAN DARING DIMASA PANDEMI
Oleh: SILMI RIASAH PRIYATNA, S.Pd
Pandemi Covid-19 telah menimbulkan perubahan bagi semua bidang kehidupan, tidak terkecuali bidang pendidikan. Dalam bidang pendidikan, salah satu perubahan signifikan yang terjadi yaitu metode pembelajaran. Metode pembelajaran tatap muka/luar jaringan (luring) yang umumnya digunakan diubah menjadi online/dalam jaringan (daring). Sistem pembelajaran daring diselenggarakan melalui pemanfaatan teknologi digital berbasis internet menggunakan berbagai aplikasi pembelajaran. Pemberlakuan pembelajaran daring selanjutnya menimbulkan berbagai konsekuensi, tidak terkecuali bagi orang tua. Setidaknya orang tua harus menyiapkan dua hal mendasar yaitu perangkat fisik dan perangkat psikis (psikologis).
Pertama, perangkat fisik. Perangkat fisik meliputi, smartphone yang menunjang, kuota yang memadai dan internet yang stabil. Smartphone yang menunjang setidaknya memuat aplikasi yang umumnya digunakan untuk media pembelajaran daring yaitu, WhatsApp, Google Classroom, Google Meet, Zoom Meeting, Cisco Webex, dan sebagainya. Selanjutnya, kuota internet diperlukan agar aplikasi-aplikasi dapat dimanfaatkan secara optimal. Selain itu, diperlukan koneksi internet yang stabil agar proses pembelajaran berjalan lancar. Namun realitasnya, tidak mudah memenuhi fasilitas penyelenggaraan pembelajaran daring tersebut dikarenakan dalam masa pandemi, keadaan ekonomi sebagian orang tua menurun. Kondisi ini menjadi kendala orang tua dalam memenuhi perangkat fisik yang diperlukan dalam pembelajaran daring, akibatnya banyak orang tua yang tidak bisa mengikuti proses pembelajaran daring secara optimal. Hal ini pula menjadi tantangan dan bahan evaluasi berbagai pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
Kedua, perangkat psikis. Perangkat psikis yang harus disiapkan orang tua pertama-tama yaitu kesiapan untuk memberikan Dukungan Psikologis Awal/DPA (selanjutnya dalam tulisan ini digunakan singkatan DPA) sebagai upaya pendampingan pembelajaran daring yang dilaksanakan anak.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Wahana Visi Indonesia periode 12-18 Mei 2020 terhadap 900 rumah tangga dan 943 anak di sembilan provinsi mendapati pembelajaran daring ternyata menciptakan masalah psikis pada anak. Mayoritas (47%) anak mengaku bosan tinggal di rumah. Masalah kedua adalah khawatir ketinggalan pelajaran (35%). Masalah psikis ketiga adalah takut tertular Covid-19 (34%). Selanjutnya anak mengaku merindukan teman-teman (20%), merasa tidak aman (15%), dan khawatir akan penghasilan orang tua (10%). Masalah psikis ini masih ditambah kekerasan pada anak selama pembelajaran daring. Setidaknya 61,5% anak mengaku merasa mengalami kekerasan verbal. Lalu, 11,3% merasa mengalami kekerasan fisik. (Sumber: https://katadata.co.id/muhammadridhoi/analisisdata/5f716d3cbffb7/gangguan-psikis-anak-selama-belajar-dari-rumah)
Dalam konteks ini, DPA dapat digunakan sebagai upaya mengurangi kerentanan psikologis yang tergambar berdasarkan hasil survei diatas. Selain itu juga, DPA dapat dijadikan metode penyesuaian diri anak dan orang tua dalam situasi kenormalan baru. Meski konsepnya sederhana, dalam aplikasinya memang tidak mudah. Dalam Modul “Pengembangan Model Dukungan Psikologis Awal bagi Pendidikan Anak dan Remaja” yang diterbitkan oleh Kemendikbud tahun 2018 diterangkan bahwa dalam melaksanakan DPA dibutuhkan berbagai keterampilan dasar. Pertama, empati. Orang tua harus bersedia memahami pemikiran, perasaan, dan usaha anak dalam menghadapi masalah psikologis yang ditimbulkan dari pembelajaran daring. Kedua, mendengar aktif. Orang tua harus hadir secara penuh, dengan cara mendengarkan dan menanggapi anak sehingga mereka merasa dipahami dan terbuka menceritakan masalah yang dihadapi. Ketiga relaksasi. Relaksasi bisa dilaksanakan dengan tujuan mengurangi ketegangan yang dirasakan anak serta membuat tubuh anak lebih nyaman. Orang tua dapat memandu anak melakukan relaksasi dengan teknik yang sederhana dan mudah dilakukan. Keterampilan dasar terakhir adalah identifikasi dini. Keterampilan ini dimiliki dengan cara orang tua mengenali tanda-tanda (identifikasi) masalah psikologis anak untuk selanjutnya menyiapkan rencana bantuan lebih lanjut. Proses ini memungkinkan orang tua menghubungkan anak kepada layanan bantuan yang tepat, jika orang tua tidak dapat mengatasinya.
Keterampilan dasar DPA seperti relaksasi, diprediksi dapat meningkatkan kesehatan psikis/mental orang tua. Didalam “Catatan aspek kesehatan jiwa dan psikososial wabah Covid-19” yang diterbitkan Inter-Agency Standing Committee (IASC) Reference group for Mental Health and Psychosocial Support in Emergency Settings tahun 2020 menyebutkan bahwa olah raga relaksasi, seperti latihan pernapasan, meditasi dan mindfulness dapat memelihara kesejahteraan jiwa individu. Kondisi psikis/mental orang tua yang bermasalah berpotensi melahirkan tindak kekerasan kepada anak. Dalam survei secara online yang dilakukan oleh KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) mulai 8-14 Juni 2020 melibatkan 25.146 anak dan 14.169 orangtua tersebar di 34 provinsi Indonesia, menggambarkan bahwa orang tua melakukan kekerasan fisik kepada anak. Anak mengaku mendapatkan kekerasan fisik dari kedua orang tuanya. Seperti dicubit (39,8%), dijewer (19,5%), dipukul (10,6%), dan ditarik (7,7%). Anak menyebut pelaku kekerasan fisik yaitu ibu sebanyak 60,4 persen, kakak atau adik 36,5 persen, dan ayah 27,4 persen. Selanjutnya kekerasan psikis yaitu dimarahi (56%), dibandingkan dengan anak yang lain (34%), dibentak (23%), dan dipelototin (13%). Berdasarkan pengakuan sang anak, sebanyak 79 persen ibu melakukan kekerasan psikis, ayah 42 persen, dan kakak atau adik 20,4 persen. (Sumber: https://tirto.id/survei-kpai-kekerasan-anak-akibat-beratnya-beban-ibu-saat-covid-19-fS2L).
Selanjutnya, ketika keterampilan dasar DPA sudah dimiliki oleh orang tua, langkah selanjutnya menerapkan strategi teknis DPA kepada anak. Dalam “Buku Saku Dukungan Psikososial Bagi Guru dan Siswa Tangguh di Masa Pandemi Covid-19“ yang diterbitkan Wahana Visi Indonesia tahun 2020, secara sederhana disebutkan konsep DPA yaitu 3 M, Mengamati-Mendengar-Menghubungkan. DPA dapat dilaksanakan orang tua dengan langkah-langkah berikut: pertama, mengamati artinya mengenali dan memberikan perhatian. Langkah pertama ini dapat dilakukan dengan cara menanyakan kondisi anak yang mengalami masalah psikologis akibat pembelajaran daring, misalnya dengan cara menanyakan bagaimana perasaan anak, selanjutnya mencari tempat yang aman dan nyaman untuk mendengarkan anak lebih lanjut, sampai anak mengeluarkan semua tekanan emosinya. Kedua, mendengar. Tidak sekedar mendengarkan, dalam langkah ini orang tua diharuskan konsentrasi mendengar secara aktif dan menyimak apa yang akan anak jelaskan. Mendengar secara aktif salah satunya ditandai dengan anggukan kepala. Hal ini ditujukan agar anak merasa dipahami. Selanjutnya menyampaikan kembali cerita anak dengan bahasa yang sederhana, dan tidak memberikan tanggapan pribadi yang menyakiti, menghakimi, atau menyinggung perasaan. Ketiga, menghubungkan. Langkah menghubungkan dengan cara mengenali potensi dan sumber dukungan yang dimiliki anak. Orang tua dapat menemukan sumber daya psikologis yang dimiliki anak dalam dirinya untuk mengatasi masalah psikologisnya. Jika anak dan orang tua merasa sudah tidak sanggup mengatasinya, orang tua dapat mencari informasi tentang dukungan yang diperlukan, kemudian menghubungkannya dengan pihak yang tepat, untuk selanjutnya ditindak lanjuti dengan bantuan profesional.
Dengan demikian, pemberian Dukungan Psikologis Awal (DPA) yang optimal diharapkan efektif mengurangi masalah psikologis yang ditimbulkan dari pembelajaran daring, sehingga anak dapat menjalani proses pembelajaran dengan bahagia. Kemudian, secara lebih luas, DPA juga diharapkan dapat memelihara kesehatan mental anak dan orang tua dimasa pandemi ini. Aamiin.