Figur Investor Pendidikan itu Masih Ada

Figur Investor Pendidikan itu Masih Ada

Figur Investor Pendidikan itu Masih Ada

Oleh: Ruhiman, M.Pd.

Guru MTsN 2 Bandung Barat

PADA lagu kebangsaan Indonesia Raya kita dapati lirik, “bangunlah jiwanya bangunlah badannya”. Lirik tersebut mengandung makna mendalam terkait pemenuhan kebutuhan ruhani dan jasmani manusia. Kata jiwa pada lirik tersebut mendahului kata badan. Maknanya, di antara hal penting ada hal lebih penting yang harus diutamakan sebagai alasan kesinambungan kehidupan manusia, baik secara individu maupun sosial. Jiwa manusia terbangun oleh nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu dan pengetahuan melalui proses pendidikan berkesinambungan. Badan (raga) memerlukan gizi yang didapat di antaranya dari konsumsi makanan dan minuman untuk penopang fisik sebagai pelaksana dalam menyeriusi tercapainya tujuan kehidupan.

**

Jika kita kembali pada hakikat pendidikan yang utama, yakni membangun jiwa (karakter) peserta didik. Keteladanan, pembelajaran, dan pembiasaan merupakan upaya untuk mewujudkannya. Keteladanan adalah bagaimana figur orang sekeliling dapat mewariskan nilai-nilai kebaikan melalui contoh konkret yang secara terus-menerus ditanamkan pada jiwa peserta didik lewat ucapan, penampilan, dan perilaku. Figur itu melekat pada sosok orang tua, guru, dan masyarakat sekitar. Pembelajaran dalam tataran sempit terlaksana melalui program (jadwal) terpola yang dilakukan agar peserta didik melakukan kegiatan belajar pada waktu tertentu. Pembiasaan dilakukan secara simultan dan terintegrasi pada pembelajaran dan budaya lingkungan sebuah satuan pendidikan.

Namun, kini, saat Pandemi Covid-19 masih terus berdampak pada semua lini kehidupan manusia, secara psikologis dunia pendidikan mengalami disorientasi pembelajaran. Hal yang dimaksud berkaitan dengan pendekatan, metode, media, penilaian, maupun penyederhanaan tujuan pembelajaran. Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dengan moda daring (online) menjadi sebuah kebijakan logis mengingat keselamatan dan kesehatan warga madrasah (sekolah).

Proses pendidikan harus tetap berjalan. Itulah komitmen pemerintah yang harus dijabarkan oleh peserta didik, guru, bahkan orang tua. Pengalaman baru atas pembelajaran masa ini tak urung membuat kaget. Kesan mendalam, baik senang, sedih, bosan, dan sebagainya, adalah seribu satu macam rasa yang akan sulit dilupakan. Itu semua milik mereka yang menjalani pembelajaran moda ini.

**

Ada sebuah kesan mendalam yang saya dapati ketika menyimak penuturan orang tua peserta didik terkait dengan pembelajaran pada masa pandemi ini. Garis besar ceritanya begini.

Sebagai seorang pekerja serabutan, menyediakan sejumlah uang dengan jumlah minimal satu juta itu bukan perkara gampang. Butuh beberapa minggu untuk dapat mengumpulkannya. itu pun jika ada pekerjaan yang dapat menghasilkan uang. Jika tidak ada, praktis harus mencari cara lain untuk mendapatkannya. Ya, uang itu dibutuhkan untuk membeli ponsel pintar sebagai prasyarat mengikuti belajar daring anak lelakinya.

Bagi si bapak, ponsel merupakan benda asing. Jangankan mengoperasikannya, memegang pun belum pernah. Si bapak baru sebatas melihat milik tetangganya. Alhasil, selama beberapa bulan anak lelakinya tak belajar. Informasi yang anaknya dapati seputar belajar, sekilas saja dari tetangganya. Akibat selanjutnya, si anak merasa rendah diri untuk mau menemui guru di madrasah.

Tempat tinggalnya berada di kawasan pegunungan, berjarak beberapa kilometer dari madrasah tempat anaknya sekolah. Sinyal internet tak begitu bagus kekuatannya di sana. Jangan tanya bagaimana kondisi sinyal saat cuaca mendung atau hujan. Meski demikian, setidaknya tak perlu repot-repot bertanya kepada teman dekat tentang materi pelajaran jika sudah memiliki ponsel pintar.

Si Bapak memutar otak agar dapat membelikan ponsel itu buat sang anak. Baginya, pendidikan anaknya tak boleh terputus hanya gegara benda asing itu. Corona memang membuat ruang geraknya tak seleluasa dulu. Bertani sebagai pekerjaan tetap memang belum mampu meningkatkan pendapatan keluarganya. Itu hanya cukup untuk bekal persediaan makanan pokok sehari-hari.

Berbulan-bulan lamanya, akhirnya ada jalan keluar dari permasalahan ini. Anaknya lelaki satu-satunya itu dapat kembali belajar meskipun harus tetap melunasi tugas yang terbengkalai sebelumnya. Kini, benda asing itu sudah terbeli hasil menjual satu ekor kambing yang dipeliharanya bertahun-tahun. Rasa minder yang kerap menghantui perasaan anaknya, lambat laun tersisihkan. Dengan semangat dia hubungi gurunya dan berujar, “Pak, saya sudah punya handphone sekarang…!”

**

Demi mendengar penuturannya, beberapa detik bibir saya kelu. Di antara pelbagai keluh kesah yang kerap terdengar seputar pembelajaran daring, cerita ini bagai embun di tengah terik mentari. Pelbagai perasaan bercampur aduk. Intinya, saya bangga dan malu. Bangga dengan kesadaran dan perjuangan orang tua ini, tetapi lain sisi malu dengan pelayanan yang belum maksimal pada peserta didik apalagi saat PJJ ini.

Memanusiakan manusia adalah tujuan sangat fundamental pendidikan. Dalam hal ini, semua komponen pendidikan memiliki peran yang sama pentingnya dalam upaya mencapai tujuan tersebut. Peserta didik sebagai subjek pendidikan utama dihadapkan pada proses yang menuntut optimalisasi pelayanan. Mereka berhak mendapatkan pendidikan. Dan, tanggung jawab itu melekat erat pada pundak kita: guru, orang tua, pemerintah, dan masyarakat.

Secara tidak langsung, baru segelintir orang tua yang paham bahwa pendidikan adalah investasi. Karakter yang kuat merupakan pondasinya. Karakter adalah jiwa pendidikan itu sendiri. Setidaknya itulah yang dicontohkan oleh si bapak itu. Kita yakin, kerja keras orang tua guna keberlangsungan pendidikan putra-putrinya adalah juga investasi karakter yang tak ternilai. Pantang menyerah merupakan sebuah keniscayaan bagi manusia di tengah kondisi tersulit sekalipun. Membangun hal itu tepat kiranya saat situasi dan kondisi macam kini saat pemaksimalan pengetahuan dan keterampilan sulit tercapai.   

Figur macam inilah yang menjadi simbol eksistensi nilai-nilai kehidupan yang akan mampu membentuk kondisi mental peserta didik pada harapan ideal yang didambakan. Pendidikan tak melulu soal angka, tetapi ada nilai-nilai luhur karakter yang akan terus dan terus menjadi sebuah kekuatan.

Karakter mestinya jadi identitas diri bangsa kita sehingga menjadi solusi untuk setiap persoalan. Hal itu sejalan dengan pernyataan Hill (dalam Ghufron, 2010), “Character determines someone’s private thoughts and someone’s action done. Good character is the inward motivation to do what is right, according to the highest standard of behavior in every situation”.

**

Setahun lebih Allah Swt. memberikan ruang pada orang tua, guru, dan seluruh komponen bangsa ini untuk berpikir, berpikir, dan berpikir. Kemajuan teknologi tak dapat kita bendung. Telah sangat terasa dampaknya pada kehidupan ini. Namun, itu bukan tujuan, melainkan alat hasil pemikiran manusia terampil untuk kita jadikan pelecut agar semakin kreatif. Perubahan mindset mesti selalu dibarengi perubahan perilaku semua pihak, karena kehidupan ini dengan cepat pula berubah.

Selalu ada hikmah dibalik sebuah peristiwa bagi orang-orang yang berpikir. Allah Mahatahu nutrisi yang tepat bagi jiwa kita yang sering lalai. Makhluk supermini ini harusnya mampu membuka pikiran kita. Jiwa pendidikan itu adalah karakter: kerja keras, pantang menyerah, kerja sama, optimis, dsb.

***