Kembali (Lagi) ke EYD
  • 1 September 2022
  • 4940x Dilihat
  • Gumeulis

Kembali (Lagi) ke EYD

Kembali (Lagi) ke EYD

oleh

Ruhiman, M.Pd.

 

Bila merunut penggunaan ejaan dalam bahasa Indonesia, kita mengenal Ejaan van Ophuijsen, Ejaan Soewandi/Republik, Ejaan yang Disempurnakan (EYD), dan Ejaan Bahasa Indonesia (EBI). Di antara itu, ada Ejaan Pembaharuan (1957), Ejaan Melayu-Indonesia (1959), dan Ejaan Lembaga Bahasa dan Kesusastraan (1966). Namun, ketiga sistem ejaan terakhir belum sempat diresmikan penggunaannya.

Perkembangan sebuah bahasa terdapat sejarah panjang yang melatarbelakanginya. Bahasa Indonesia yang terus berkembang, tak menampik setiap perubahan atas kebutuhan dan tuntutan zaman. Perubahan sistem ejaan merupakan sebuah ikhtiar untuk penyempurnaan kaidah berbahasa (tulis) agar menjadi salah satu rujukan berbahasa Indonesia yang baik dan benar .

Berikut, sekilas pemaparan tentang sistem ejaan yang berlaku dalam bahasa Indonesia berdasarkan lini masanya.

Ejaan van Ophuijsen (1901) disusun oleh seorang ahli bahasa berkebangsaan Belanda, Charles A. van Ophuijsen dibantu oleh Nawawi Soetan Malmoer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Ejaan berbahasa Melayu dengan huruf Latin ini menuliskan kata-kata bahasa Melayu sesuai model bahasa Belanda.

Ejaan yang tertulis dalam sebuah buku berjudul Kitab Logat Melajoe  menjadi sebuah tonggak bagi sejarah ejaan di Indonesia berhuruf Latin. Sebelum penetapan sistem ejaan ini, catatan tertulis berbahasa Melayu ditulis dalam huruf Arab (Jawi). Jauh sebelum itu, di Nusantara terdapat dokumen/prasasti bertuliskan huruf Pallawa dan Sanskerta selain huruf Arab yang juga digunakan setelah masuk pengaruh Islam.

Sumpah Pemuda menjadi sebuah momentum yang berpengaruh besar terhadap munculnya nama “Indonesia” kemudian yang menggantikan nama “Hindia-Belanda”. Tak terkecuali untuk bahasa persatuan dengan cikal bakal bahasa Melayu: bahasa Indonesia.

Sikap ingin melepaskan diri dari pengaruh kolonial Belanda memunculkan gagasan untuk menyusun sistem ejaan baru yang lebih sederhana. Lahirlah Ejaan Republik alias Ejaan Soewandi  (1947). Soewandi adalah Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan masa itu.

Perubahan yang kentara pada sistem ejaan ini adalah mengganti huruf oe pada ejaan sebelumnya menjadi u. Yang lainnya,  bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k pada kata-kata tak, pak, rakjat, dan sebagainya. Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2 seperti pada kanak2, ber-jalan2, ke-barat2-an. Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mendampinginya.

Setelah seperempat abad lamanya penggunaan Ejaan Soewandi, tahun 1972 lahir sistem ejaan baru dengan nama Ejaan yang Disempurnakan. Sesuai namanya, ejaan ini merupakan penyederhanaan dan penyempurnaan atas Ejaan Soewandi. Secara umum, hal-hal yang diatur dalam EYD adalah penulisan huruf —termasuk huruf kapital dan huruf miring, penulisan kata, penulisan tanda baca, penulisan singkatan dan akronim, penulisan angka dan lambang bilangan, serta penulisan unsur serapan. Dalam perjalanannya EYD mengalami beberapa kali revisi: 1987 dan 2009. (wikipedia.org).

Tahun 2015 melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2015 lahir Ejaan Bahasa Indonesia. Tidak banyak perbedaan dengan EYD. EBI hanya menambahkan aturan untuk huruf vokal diftong dan penggunaan huruf tebal. Huruf diftong pada EYD hanya tiga, yaitu ai, au, oi, sedangkan pada EBI, huruf diftong ditambah satu yaitu ei (misalnya pada kata geiser dan survei). Penggunaan huruf tebal dalam EYD, ada tiga, yaitu menuliskan judul buku, bab, dan semacamnya, mengkhususkan huruf, serta menulis lema atau sublema dalam kamus. Dalam EBI, fungsi ketiganya dihapus.

Menilik jangku waktu pemberlakuan, EBI tak bertahan lama layaknya sistem ejaan di depannya. Tahun 2022 pemerintah menetapkan sistem ejaan baru melalui Keputusan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbudristek Nomor 0424/I/BS.00.01/2022 dengan sebutan Ejaan yang Disempurnakan (EYD) edisi V.

Hal menarik jika memperhatikan penamaan ejaan ini. Bukan nama baru. EYD dipilih kembali karena dianggap lebih dikenal luas sehingga kuat melekat pada benak pengguna bahasa Indonesia.

Kepala Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra, Badan Bahasa, Kemendikbudristek, M. Abdul Khak menyatakan, EYD tidak hanya lahir kembali, tetapi juga mengalami penambahan dan perubahan isi. Latar belakang penambahan dan perubahan itu adalah terpajannya pengguna bahasa pada konsep-konsep iptek dalam tatanan masyarakat baru sehingga perlu mendapatkan penanganan yang sistematis dalam bentuk kaidah bahasa yang adaptif, responsif, dan akomodatif (Pikiran Rakyat, 14 Agustus 2022).   

Mengutip dari pikiran-rakyat.com edisi 22 Agustus 2022, pembaruan yang tedapat pada EYD edisi V adalah tentang hal-hal berikut.

Pertama, penambahan kaidah, yaitu penambahan huruf vokal rangkap /eu/ yang melambangkan satu bunyi (monoftong) sehingga penulisan kata seudati, sadeu, geulis, keukeuh, dsb. dituliskan seperti bahasa aslinya.

Kedua, perubahan kaidah penulisan bentuk terikat maha- untuk kata yang berkaitan dengan Tuhan. Pada ejaan sebelumnya, aturan penulisan kata terikat maha- ada yang dipisah dan digabung. Pada EYD edisi V, aturan penulisan kata terikat maha- dengan kata dasar atau kata berimbuhan yang mengacu pada nama atau sifat Tuhan, semua ditulis terpisah dengan huruf awal kapital sebagai pengkhususan. Contohnya Yang Maha Esa, Yang Maha Pengasih, Tuhan Yang Maha Pengampun.

Ketiga, perubahan redaksi "dipakai" menjadi "digunakan" pada penggunaan tanda baca titik. Pada ejaan sebelumnya, redaksi yang digunakan pada penggunaan tanda titik adalah "tanda titik dipakai pada kalimat pernyataan". Sementara pada EYD edisi V diubah menjadi "tanda titik digunakan pada akhir kalimat pernyataan".

Keempat, tentang pemindahan kaidah. Penulisan unsur serapan berupa imbuhan yang semula ada di PUEBI atau diatur dalam ejaan, dipindahkan ke Pedoman Umum Pembentukan Istilah (PUPI).

Kelima, penghapusan kaidah pemakaian tanda titik dalam daftar pustaka di antara nama penulis, tahun, judul tulisan, dan tempat terbit. Sehingga, aturan penulisan daftar pustaka tidak lagi diatur oleh ejaan, tetapi akan dimasukkan ke dalam pedoman teknis penulisan karya ilmiah. Hal itu agar EYD edisi V hanya berfokus pada ejaan saja. Hal teknis seperti tata cara penulisan rujukan dan kutipan akan mendapat tempat tersendiri.

Keenam, perubahan contoh, yaitu penambahan dan penggantian contoh pada kaidah penulisan unsur serapan. Semula redaksinya hanya ch yang dilafalkan /s/ atau /sy/ menjadi s" dengan dua contoh, menjadi "Gabungan huruf ch yang dilafalkan /s/ atau /sy/ menjadi s" dengan dua contoh yang berbeda dan satu contoh yang sama, serta penambahan cara pelafalannya.

Ketujuh, perubahan tata penyajian isi pada penulisan unsur serapan umum bahasa Arab. Sebelumnya, redaksi yang dipakai adalah "a (Arab, bunyi pendek atau bunyi panjang menjadi a (bukan o)", menjadi "Harakat fathah atau bunyi /a/ (Arab) yang dilafalkan pendek atau panjang mejadi a".

Hal lain yang berubah terjadi pada singkatan kata kilometer. Disingkat menjadi km jika sebagai ukuran (10 km) dan disingkat menjadi Km. jika sebagai penanda alamat (Km. 10).

Perlu dimaklumi bersama, bahwa ejaan hanya mengatur tata cara dalam menulis. Hal demikian tak diperlukan dalam bahasa lisan.

 

Penulis adalah guru MTsN 2 Bandung Barat