MENGUAK KISAH DARING DI MASA PANDEMI

MENGUAK KISAH DARING DI MASA PANDEMI

MENGUAK KISAH DARING DI MASA PANDEMI

Ida Haerani, S.P., M.Pd.

Tak terbayang sebelumnya keadaan pandemi sekarang ini berlangsung lebih lama dari jangkauan. Saya sebagai seorang pendidik yang secara langsung terdampak dengan adanya wabah ini. Bermula dari negeri China, tepatnya di Wuhan, virus ini merebah ke seluruh pelosok dunia tak terkecuali. Virus itulah yang dikatakan Covid-19, yang sampai detik ini belum juga menyingkir dari kehidupan manusia di seluruh dunia.

Virus ini telah membawa dampak yang sangat luar biasa, terutama di dunia pendidikan. Tak disangka tak dinyana, ketika itu di pertengahan bulan Maret, tepatnya tanggal 16 Maret 2020, semua aktifitas di sekolah dipindah alihkan ke rumahnya masing-masing, termasuk belajarnya anak-anak didik. Pada waktu itu semua kalang kabut dan bingung, apa yang harus dilakukan dengan datangnya instruksi seperti itu, terutama kami sebagai pendidik karena sama sekali belum ada persiapan apa-apa untuk mengatasi keadaan seperti itu. Beruntung saya sebelum pandemi ini sudah ikut serta dalam pembelajaran menulis online, setidaknya sedikit sudah terpikirkan langkah apa untuk mengatasi masalahnya. Saya terpikirkan untuk mengadakan pembelajaran dari rumah dengan melalui aplikasi whastapp group. Dengan pertimbangan saya saat itu anak-anak sudah memiliki aplikasi dan terbiasa menggunakannya, jadi saya tidak akan bingung lagi untuk mengaturnya.

Sehari dua hari, seminggu dua minggu saya dan anak-anak merasa enjoy belajar di aplikasi tersebut, komunikasi berjalan lancar dan tujuan pembelajaran pun dirasa cukup tercapai kala itu, walaupun tidak semua anak bisa masuk kelas dengan alasan tidak mempunyai gawai.  Namun setelah lewat dari satu bulan, kenyamanan mulai terganggu, konsentrasi dan keaktifan anak mulai goyah, kelas tidak lagi kondusif. Di awal kelas mereka absen, tapi ketika diperjalanan proses pembelajaran satu per satu dari anak-anak mulai menghilang dari perbincangan di kelas online, sampai kelas berakhir hanya kurang dari setengahnya anak yang tetap masih bertahan.

Dengan keadaan seperti itulah saya mulai bingung mencari alternatif media apa yang akan digunakan untuk menarik lagi minat belajar anak-anak. Anak-anak sudah mulai bosan dengan kemonotonan model pembelajaran di WAG walaupun saya sudah berusaha untuk mengubah-ubah teknik dan media pembelajaran dengan mengkolaborasikan WAG dengan Zoom meet, google classroom, google form atau yang lainnya, tapi minat dan semangat anak-anak sudah tidak bisa lagi kembali seperti semula.

Kutelusuri masalah demi masalah, kucoba temukan setiap alasan dibaliknya. Ingin kutemukan sebenar-benarnya kepastian dari semua itu. Pada satu kesempatan saya bertemu dengan anak-anak dan menanyakan masalahnya, beraneka ragam jawaban yang mereka kemukakan. Seorang siswa menjawab “Bu saya tak punya HP” yang lain mejawab ada yang tidak mempunyai uang untuk membeli kuota, jaringan yang tidak stabil, dan lain sebagainya. Hati saya terenyuh dan tersentuh mendengarnya. Ternyata yang saya pikirkan selama ini tidak sesuai dengan kenyataan. Ketidakikutsertaan anak-anak bukan semata karena pembelajaran sudah tidak menarik lagi minat mereka, tapi keadaan merekalah yang tidak mendukung untuk mengikutinya.

Kisah itu baru sepenggal dari kisah yang dialami di kelas online yang saya pegang. Belum dari beraneka warna dan rupa kisah di luar itu.  Mulai perbincangan kami dengan sesama rekan pendidik di sekolah, dengan orang tua anak didik kami atau dengan orang tua di sekitar rumah yang mempunyai anak-anaknya yang masih sekolah, atau dari anaknya itu sendiri yang bercerita tentang pengalaman belajar online atau daringnya.

Dengan kondisi seperti ini, pembelajaran daring tidak lagi akan menjadi efektif dan sudah bisa dipastikan pencapaian kompetensi tidak akan bisa mencapai seratus persen. Untuk mengatasi masalah ini, maka pemerintah mengeluarkan kebijakan yaitu dengan dikeluarkannya kurikulum darurat. Kurikulum darurat (dalam kondisi khusus) merupakan penyederhanaan dari kurikulum nasional. Pada kurikulum tersebut dilakukan pengurangan kompetensi dasar untuk setiap mata pelajaran sehingga guru dan siswa dapat berfokus pada kompetensi esensial dan kompetensi prasyarat untuk kelanjutan pembelajaran di tingkat selanjutnya. Dengan kurikulum ini siswa tidak dibebani tuntutan menuntaskan seluruh capaian kurikulum untuk kenaikan kelas maupun kelulusan, dan pelaksanaan kurikulum.

Guru dianjurkan juga untuk melakukan asesmen diagnostik, untuk mendiagnosis kondisi kognitif dan non-kognitif siswa sebagai dampak pembelajaran daring atau jarak jauh. Asesmen non-kognitif ditujukan untuk mengukur aspek psikologis dan kondisi emosinal siswa, seperti kesejahteraan psikologis dan sosial emosi siswa, kesenangan siswa selama belajar dari rumah, serta kondisi keluarga siswa. Sedangkan asesmen kognitif ditujukan untuk menguji kemampuan dan capaian pembelajaran siswa. Hasil asesmen digunakan sebagai dasar pemilihan strategi pembelajaran dan pemberiaan remedial atau pelajaran tambahan untuk peserta didik yang paling tertinggal.

Tapi apa mau dikata, harapan tinggalah harapan, kenyataan di lapangan sangat jauh berbeda. Tujuan dan keinginan yang diharapkan baik pemerintah ataupun kita sebagai pendidik tidak tercapai secara penuh. Hasil dari penilaian yang diperoleh selama ini, rata-rata dari setiap kelas baik yang mengumpulkan tugas maupun yang mengikuti penilaian harian secara online, masih kurang dari lima puluh persen peserta didik per kelasnya. Tentunya saja hal ini diakibatkan karena alasan pertama, peserta didik tidak mempunyai gawai yang memadai, tidak memiliki kuota, jaringan yang tidak stabil, dan lain sebagainya. Semua masalah ini masih belum dapat terpecahkan secara keseluruhan.

Ada masalah lain yang muncul, ketika peserta didik memiliki semuanya, gawai ada, kuota bisa terbeli, jaringan bagus, tapi anaknya itu sendiri yang malas mengikuti kelas atau mengerjakan tugas. Mereka malah asyik main game daripada masuk kelas online dan mengikuti pembelajaran. Sudah berbagai upaya dilakukan untuk menarik dan mengefektifkan pembelajaran darini ini, tapi tetap saja peserta didik tidak sepenuhnya mengikuti dan mengerjakan tugas yang diberikan. Sebagus apa pun media yang disajikan seorang guru dalam pembelajaran daring, tapi pada akhirnya tidak ada yang akan bisa menggantikan keefektifan dan kenyamanan pembelajaran tatap muka.

Pendidikan karakter yang dicapai peserta didik dengan mencontoh atau mensauritauladani guruya tidak akan ditemui pada pembelajaran sistem daring ini. Makanya tak heran di masa pandemi ini tak sedikit terdengar kabar kekerasan orang tua atau sebaliknya yang marak terjadi. Tak sedikit anak yang membangkak pada orang tuanya, karena keputusasaan atau bahkan karena kebosanannya mereka untuk diam di rumah dengan rutinitas yang sama dari hari ke hari, sehingga tingkat emosional mereka meningkat.

Begitulah sepenggal kisah yang terjadi pada pembelajaran daring, dimana semua pihak ikut terdampak. Semoga kisah daring yang mengharukan dan membuat dilema di kalangan semua pihak segera berlalu. Kami sebagai pendidik dan mereka sebagai peserta didik sudah sangat merindukan pemebelajaran tatap muka, dimana kita semua terlibat secara langsung dalam aktif dan efektifnya kegiatan pembelajaran. Kami rindu untuk segera melihat dan menyaksikan gerak tingkahmu di kelas.