MERDEKA ATAU MATI: REFLEKSI PENDIDIKAN MASA PANDEMI

MERDEKA ATAU MATI: REFLEKSI PENDIDIKAN MASA PANDEMI

MERDEKA ATAU MATI: REFLEKSI PENDIDIKAN MASA PANDEMI
Oleh
Mughits Rifai, S.Pd.

 

Pengantar
Wabah virus Corona telah berlangsung lebih dari 1 tahun. Selama itu, banyak yang menjadi korban, dari nyawa manusia sampai kemanusiaan. Bahkan, pendidikan pun tak luput dari pengaruh serangan pandemi yang bermula di negeri tirai bambu ini. Laporan UNESCO menyebutkan lebih dari 31 juta peserta didik (dari 8 negara) terkena imbas pandemi Covid-19. Durasi penutupan sekolah di beberapa negara pun beragam. Bahkan, ada yang lebih dari 41 minggu (hampir 1 tahun) menutup kegiatan di sekolah. Karenanya, hal ini menjadi persoalan yang sangat serius untuk diperhatikan bersama.

Dalam konteks Indonesia, pemerintah bertindak cepat untuk melakukan adaptasi berkenaan dengan pengelolaan kegiatan pendidikan selama masa pandemi. Sebagai salah satu negara dengan tingkat penyebaran Covid-19 yang tinggi di dunia, Indonesia juga terpaksa mengambil keputusan untuk menutup sekolah dan menerapkan pembelajaran jarak jauh. Namun, ini tentu bukan pekerjaan mudah bagi siapa saja. Baik pemerintah, sekolah, guru, murid, maupun orang tua memiliki kendala masing-masing yang dapat menghambat kesuksesan pembelajaran darurat selama masa pandemi ini. Meskipun begitu, ada satu hal yang seharusnya diterapkan dalam pembelajaran darurat selama masa pandemi ini: kemerdekaan.

Kemerdekaan dalam pembelajaran sering digongkan oleh Mas Menteri Nadiem Makarim melalui jargonnya ‘Merdeka Belajar’. Seperti dikutip oleh Kompas.com, menurutnya konsep Merdeka Belajar ini paling tepat digunakan karena di dalamnya terdapat kemandirian dan kemerdekaan bagi lingkungan pendidikan untuk menentukan sendiri cara terbaik dalam melaksanakan proses pembelajaran. Konsep ini sebetulnya bukan konsep baru. Emi Emilia, seorang pakar pendidikan Indonesia, menyebutkan bahwa konsep merdeka belajar sebetulnya pertama kali diperkenalkan oleh Paulo Freire pada tahun 1971 di Brazil dalam program pengajaran literasi dan dibahas secara khusus melalui bukunya Pedagogy of Freedom. Terlepas dari itu semua, ada beberapa hal dasar dalam merdeka belajar yang baiknya kita terapkan sebagai upaya menunjang keberhasilan pembelajaran.

Learner-centeredness
Dalam sebuah kesempatan, Nadiem Makarim menegaskan bahwa “Prinsip dasar semua terobosan Merdeka Belajar adalah apa yang terbaik bagi para murid dan guru.” Jika kita cermati, kata ‘muid’ disebutkan mendahului kata ‘guru’. Ini menunjukkan bahwa Mas Menteri menghendaki pendidikan kita berpusat pada murid. Semua materi yang guru sampaikan, kegiatan pembelajaran yang dilakukan, dan penilaian serta evaluasi yang diselenggarakan seharusnya demi  kepentingan murid. Sehingga, apa yang didapatkan, dialami, dan dinilai dari kemampuan murid adalah demi perkembangan dan kemajuan mereka.

Dalam implementasinya, guru bisa melakukan diagnosa awal kepada murid mengenai ketersediaan sarana belajar, dukungan keluarga, atau kecenderungan gaya belajar. Sehingga, guru akan lebih terarah dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran. Konsep learner-centeredness ini dinilai begitu penting sehingga Jack Richards,seorang pakar pendidikan asal Selandia Baru, memasukkannya sebagai salah satu ideologi pendidikan dalam bukunya Curriculum Development in Language Teaching.  

Pendidikan dialogis
Untuk mendukung learner-centeredness, maka diperlukan komunikasi yang baik antara guru dan murid. Hal ini tentu dapat terwujud melalui pendidikan dialogis. Emi Emilia mengutip Freire menyebutkan bahwa pendidikan diaogis menekankan bahwa pengetahuan dibangun bersama oleh guru dan murid melalui permasalahan yang disodorkan untuk dicari solusinya. Dengan adanya dialog antara guru dan murid, maka komunikasi akan terjalin. Dengan terjalinnya komunikasi, pendidikan dapat terwujud.

Dalam implementasinya, guru dapat memberi ruang kepada siswa untuk melakukan refleksi tentang pembelajarn yang sudah dialami. Murid-murid dapat bercerita tentang apa yang sudah mereka peroleh, apa yang belum, juga apa yang mereka harapkan. Melalui dialog-dialog seperti ini, baik guru maupun murid dapat melakukan perbaikan terhadap proses pembelajaran yang akan mereka jalankan berikutnya.

Demokrataisasi ruang kelas
Terakhir, dan mungkin yang terpenting, adalah bahwa semua siswa memiliki hak dan kewajiban yang sama. Sebagai guru, kita seharusnya memberikan porsi hak dan kewajiban yang sama kepada semua murid. Meminjam kalimat Emi Emilia, ruang kelas seharusnya dijadikan sebagai area publik yang demokratis. Ketika ada anak yang tidak pernah mengajukan pertanyaan atau pendapat, belum tentu itu disebabkan ketidakmampuannya. Sehingga, guru harus memberikan hak yang sama kepada semua murid.

Dalam implementasinya, guru dapat menunjuk siswa yang jarang atau belum pernah berpendapat untuk mengungkapkan pendapatnya. Di samping itu, guru juga harus mau mempertimbangkan pendapat dari setiap anggota kelas tanpa membedakan status sosial maupun peran murid di dalam kelas.

Pada akhirnya, penyelenggaraan pembelajaran, terutama selama masa pandemi, wajib memerdekakan murid dan gurunya. Tanpa kemerdekaan, pendidikan akan mati. MERDEKA ATAU MATI!