Pandemi, dapatkah mendekatkan yang “jauh”? (Korelasi daring dengan Harmonisasi Keluarga)
Pandemi, dapatkah mendekatkan yang “jauh”? (Korelasi daring dengan Harmonisasi Keluarga)
Oleh: Heni Purwitri
Guru Kelas, MIN 1 Kota Tasikmalaya
Genap dua tahun sejak 2019, Seantero dunia menghadapi bencana besar yang tanpa kita sangka. Bukan sebuah ancaman perang ataupun bencana alam namun kejadian maha dahsyat yang disebabkan oleh makhluk kecil, bernama virus corona. Virus ini yang pada akhirnya menimbulkan penyakit corona virus disease-19. Semua negara saling menuduh “biang” penyebab permasalahan global ini muncul. Bagaimana tidak, dampak yang ditimbulkan begitu meluas dan menjangkau segala aspek yang ada. Mulai dari kesehatan, ekonomi hingga pendidikan.
Pandemi yang diakibatkan oleh covid-19 ini memberikan dampak yang begitu signifikan di area pendidikan. Segala yang terlibat dalam bidang pendidikan dibuat berpikir keras untuk melakukan tindakan dan langkah hebat agar pendidikan tetap terselamatkan. Ketika satu demi satu kasus covid-19 bermunculan, maka pandemi global tak bisa kita hindari, Rencana, target dan aktivitas rutin dibuat membeku tak berdaya. Pertemuan tatap muka langsung antara guru dan murid seakan “diliburkan” dalam jangka waktu yang tak pernah kita tahu entah sampai kapan.
Hiruk pikuk pembelajaran jarak jauh
Segala cara telah dilalui, mulai belajar dengan pendekatan blended learning, daring hingga guru harus berkeliling ke rumah murid satu persatu di daerah dimana internet sulit terjangkau. Beberapa hari, bulan hingga tahun berlalu pada akhirnya jatuh pada rasa bosan yang mendera. Tidak hanya murid, begitu pula orang tua maupun guru yang dirasa kewalahan menghadapi tantangan dan rintangan dalam melaksanakan pembelajaran jarak jauh yang dirasa lebih sulit ketimbang pembelajaran tatap muka langsung.
Tak jarang kita temukan silang pendapat yang terjadi antara guru dan orang tua. Guru merasa sudah memberikan bimbingan jarak jauh semaksimal mungkin, namun orang tua mengeluh akan pekerjaan yang tiada hentinya karena perhatian mereka harus turut terbagi mengurusi anak-anaknya yang tengah belajar daring dengan pekerjaan domestik yang ada. Belum lagi, jika anak-anak mereka berjumlah lebih dari 2 orang. Tentunya tenaga yang ada tertumpah pada sang anak, sedangkan di sisi lain mereka punya kewajiban lain yang tak bisa ditinggalkan pula.
Kurikulum darurat pun disusun untuk menawarkan solusi dengan memberikan materi sederhana agar lebih mudah dipahami siswa dalam bentuk modul-modul. Modul-modul tersebut meringankan siswa agar dapat bekerja secara mandiri. Tentunya pembelajaran yang dilakukan jangan sampai terlalu memberatkan peserta didik.
Dengan kerja sama orang tua, tingkat kesulitan materi yang diberikan kepada peserta didik pun disesuaikan dengan jangkauan kemampuan orang tua meski terkadang tak senada dengan capaian indikator maupun kompetensi dasar yang diharapkan. Pada akhirnya, tidak sedikit orang tua siswa yang “menyerah” dalam mendampingi belajar anak di rumah. Sayangnya, hal ini yang justru melunturkan semangat siswa yang terdesak untuk belajar secara mandiri, terutama untuk siswa tingkat TK dan SD/MI. Sehingga di lapangan, tak jarang kita dapati kasus ada siswa yang seakan “menghilang” dan tidak aktif dalam proses pembelajaran daring.
Sebuah dilema yang dihadapi bersama oleh semua pihak. Keadaan pandemi ini memaksa semua pihak untuk turut bertarung dan beadaptasi dengan segala keterbatasan serta kendala yang semakin sulit kita halau.
Pandemi mendekatkan yang jauh?
Sebagian besar orang berpikir bahwa keadaan pandemi menyebabkan pendidikan semakin jauh dari harapan. Para kalangan melihat dari sebagian sisi saja, karena pendidikan masih melulu pada kegiatan belajar mengajar di sekolah. Namun tanpa kita sadari bahwa sesungguhnya ada hikmah tersembunyi dibalik bencana pandemi ini. Hal ini perlu kita cermati bersama kaitannya dengan perkembangan psikologis peserta didik dan capaian orang tua.
Secara umum, orang tua mengakui kewalahan dengan adanya siswa belajar di rumah. Survei pelaksanaan pembelajaran jarak jauh menunjukkan hasil bahwa sekalipun menggunakan platform dan aplikasi secanggih apapun nyatanya takkan bisa menggantikan peran seorang guru. Pada kenyataannya, sering kita dapati bahwa peserta didik lebih menurut pada perintah guru ketimbang orang tuanya sendiri. Tanpa kita sadari bahwa semestinya orang tua memliki peran lebih dominan ketimbang guru. Bagaimana tidak? Dalam kondisi normal pembelajaran maksimal biasanya hanya dilakukan maksimal 5-7 jam / hari. Sedangkan sebagian besar waktu siswa berada di rumah. Semestinya, power pendidikan dan pengasuhan berada di orang tua. Dengan memanfaatkan waktu-waktu yang efektif untuk berkomunikasi heart to heart, tentu bonding orang tua dan anak akan tercipta semakin efektif dan menyenangkan. Sebagaimana kita lihat, beberapa orang tua yang berhasil menunjukkan prestasi anak-anaknya lewat pendidikan home schooling.
Ketika peristiwa pandemi ini terjadi, semestinya tak akan menjadi kendala begitu berarti jika hubungan komunikasi antara anak dan orang tua sudah terjalin dengan baik. Namun sebaliknya, Jika selama ini komunikasi antara orang tua dan anak begitu buruk, maka kemampuan berkomunikasi dengan anak begitu terbatas, sehingga anak berada di rumah terlalu lama tidak nyaman rasanya. Justru dengan musibah pandemi ini dapat menjadi sarana pemersatu ikatan antara orang tua dan anak agar tercipta hubungan yang lebih harmonis dan indah. Barangkali dengan selalu stay at home, Pertemuan di antara anggota keluarga lebih sering terjadi, maka akan tercipta baiti jannati sebagaimana harapan terbentuknya sebuah keluarga. Bukan lagi menjauhkan yang dekat. Secara batiniah, justru semakin mendekatkan yang jauh.
Ada kalanya di antara anggota memiliki kesibukan masing-masing. Sehingga rasanya langka untuk sekedar berkumpul dan bertegur sapa. Namun, ketika keterpaksaan berada di rumah, Bisa menjadi solusi dalam memperbaiki hubungan yang renggang antara orang tua dan anak maupun sesama anak. Sang kakak dapat membantu adiknya belajar Sang Ibu bisa turut bereksplorasi menggali kemampuan anaknya. Sekalipun kita sadari bersama, untuk ibu yang bekerja dituntut memainkan peran gandanya antara karir dan extra perhatiannya pada sang anak.
Ketika ayah dan ibu WFH (work from home), maka sama-sama dituntut untuk membuat strategi prioritas serta target pencapaian, baik dalam memenuhi kewajiban sebagai pegawai maupun memenuhi tugas sebagai orang tua. Di samping itu, pengendalian emosi menjadi begitu berarti ketika masing-masing didesak untuk menyelesaikan kewajiban dalam waktu yang bersamaan. Namun sekali lagi, sungguh segala kesulitan akan datang bersama kemudahan. Membuat program, plan dan target menjadi cara jitu untuk mengedepankan solusi ketimbang melibatkan emosi dan amarah.
Kita harus selalu berkhusnudzon atas segala takdir yang telah Allah gariskan. Kita pun semakin menyadari, kecanggihan teknologi tak semerta-merta dengan mudahnya melumpuhkan makhluk kecil bernama virus corona. Pada akhirnya, hanya dengan berserah, sabar dan tawakkal adalah jalan terbaik yang bisa kita tempuh. Karena dibalik segala peristiwa yang terjadi, ada hikmah bernilai bagi kita selaku umatNya yang beriman.