PERAN IBU DI MASA PJJ
PERAN IBU DI MASA PJJ
Oleh : Masaroh, S.Ag.
Rutinitas pagi sebelum PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh), diawali tahajjud,membangunkan anak-anak untuk jama’ah subuh, mengerjakan pekerjaan dapur, menyediakan sarapan, mengantar sekolah, berubah ketika anak-anak di rumahkan karena pandemi.
15 Maret 2020 diawali dengan duduk didepan komputer memindahkan materi pelajaran kedalam HP untuk di share di grup kelas. Berjam-jam memegang HP menjawab dan menerangkan materi yang belum dipahami mereka. Pada saat itu jadwal satu hari satu mata pelajaran, kalau ngajar 14 kelas, berarti 14 grup kelas, penulis hadapi. Setelah jadwal selesai, mengistirahatkan mata selama 3 hari karena mata tidak kuat melihat layar. Seiring bertambahnya waktu ada aplikasi dari kemenag untuk pembelajaran yaitu E-Learning Madrasah.
Di Semester 1 tahun ajaran 2020/2021 jadwal berubah, satu hari satu jurusan, satu level. Misalkan kelas 10 IPA ada 3 rombel, maka mengajar 3 rombel sekaligus. Kebetulan penulis mengajar di kelas 10 IPA 1,2,3, 10 IPS 1,2, 10 IBB, 10 IIk, 11 IPA 1,2,3, 11 IBB, jadi 6 hari dalam seminggu. Minggu berikutnya off, digunakan untuk mengoreksi atau membuat materi pembelajaran dan soal-soal untuk latihan para siswa.
Sementara anak penulis duduk di kelas 5 SD juga sama, menerima pembelajaran secara online, berubahlah peran penulis mejadi guru SD. Menerangkan pelajaran agama, matematika, IPA, IPS, dsb. Ketika gurunya meminta tugas untuk menghitung berapa tetes air dalam sebuah gelas air mineral ukuran 220 ml, maka penulis berperan menjadi perekam kegiatan tersebut.
Kakaknya dipulangkan dari pondok tanggal 19 Maret 2020, pada saat itu dia kelas 9. Para santri sedang ujian tahfidz 5 juz. Bertambahlah peran penulis, menjadi guru tahfidz, mengatur jam setor tahfidz pada ustadznya, Mengirim dan meminta info secara online.
Karena tidak ada UN, maka santri kelas 9 diwajibkan mengikuti Ujian Sekolah. Penulis mengingatkan anak untuk siap menghadapi soal sesuai jadwal.dan sampailah pada prosesi perpisahan secara daring. Selesailah pembelajaran di pondok.
Menginjak masuk SMA, PPDB online dimulai, sampai diterima di SMA yang diharapkan, sementara sang adik naik kelas 6 SD.
Tiap pagi mengingatkan mereka untuk siap mengikuti kelas online, mengerjakan tugas, menerangkan pelajaran yang mash bisa penulis terangkan.
Ketika ada pelajaran yang tidak penulis kuasai, maka mencari guru les dan googling. Betapa PJJ tidak bisa begitu saja anak-anak dilepas untuk memahami pelajaran.
Penulis sering mendengar ibu-ibu yang berkeluh kesah mengajari anak-anaknya. Betapa sabarnya guru di kelas ketika menerangkan pelajaran, sangat berbeda dengan ibu-ibu yang kadang tidak sabar menghadapi anak-anaknya. Kadang anak-anak juga meragukan kemampuan ibu dalam menguasai pelajaran terutama anak-anak SD.
Pada saat bersamaan, penulis sedang berada di depan computer, si adik minta diajari Bahasa Cirebon, sementara sang kakak minta diajari Bahasa Sunda, sedangkan penulis sedang menerngkan pelajaran B. Inggris. Betapa sesuatu banget.
Di tahun ajaran baru ini, si adik masuk MTs, kakaknya kelas 11. Terdengar suara guru si kakak yang sedang menerangkan via zoom. Terlihat si adik sedang duduk mengerjakan tugas yang diberikan gurunya.
Selama PJJ, dari jam 2-3 sore, penulis antar si adik untuk belajar membaca Al-Qur’an di sebuah madrasah. Alhamdulillah, masih ada kesempatan memberikan pendidikan agama untuk anak-anak. Si kakak belajar membaca Al-Quran pada jam 4 sore.
Selepas Maghrib, penulis menerima setoran hafalan Al-Qur’an dengan moto one day one ayat.
Dalam kondisi apapun, pendidikan agama harus tetap dilakukan karena hidup tanpa agama seperti pohon besar keropos. Pendidikan di kelas boleh berhenti, tapi pendidikan agama harus tetap berjalan. Sebagai bekal anak-anak kedepan tanpa mengesampingkan pendidikan formal. Agama akan menjadi pembimbing, pengendali dan pengontrol segala tingkah laku manusia.
Itulah ceritera penulis dimasa pandemic ini, semoga bisa bermanfaat.