Pondok Pesantren featuring Pandemi

Pondok Pesantren featuring Pandemi

Pondok Pesantren featuring Pandemi

Oleh : Muhammad Qomaruddin, S.Pd.I*

“Udah di sekolahin di madrasah, tetap aja males solat. Gimana mau berubah sikap kalau belajar agamanya dari rumah. Yang ada malah nge-game terus. Mending didaftarin aja deh ke pondok,” celoteh seorang ibu  ̶  yang hendak memindahkan anaknya dari sekolah madrasah biasa ke madrasah berpesantren ̶ di depan petugas piket sebuah pondok pesantren.

Kejadian di atas merupakan bentuk keresahan yang dialami banyak orang tua/wali siswa. Terutama yang memang sejak awal mendaftarkan anaknya ke madrasah atau sekolah Islam. Terbukanya paradigma terkait pentingnya sekolah berbasis pendidikan agama, tidak hanya didominasi oleh mereka dengan latar belakang pendidikan agama yang kuat saja. Namun merambah juga kepada para orang tua dengan latar belakang pendidikan umum. Degradasi moral dan rusaknya pergaulan dunia luar adalah alasan utama. Mereka berharap dengan adanya pembekalan pendidikan agama dapat menjadi benteng bagi anak-anak, agar tidak terjerumus pada hal-hal yang buruk. Sehingga dapat meraih masa depan dan kebahagiaan dunia maupun di akhirat.

Kondisi di atas menaikkan pamor madrasah yang pada awalnya menjadi pilihan kedua. Nilai plus ini menambah daya saing sekolah madrasah dengan sekolah umum (yang biasanya menjadi tujuan favorit). Tidak mau kalah. Melihat pesatnya peningkatan itu, banyak sekolah umum yang mencoba memasukkan muatan keagamaan sebagai daya tarik. Terhitung sejak tahun 2016, kemunculan SDIT, SMPIT, hingga SMAIT menunjukkan pertumbuhan signifikan dari segi jumlahnya.

Bulan Maret tahun 2020 menjadi awal kemunculan Covid-19 (corona virus disease). Kejadian ini ditandai dengan diumumkannya dua orang WNI yang positif terjangkit virus tersebut. Virus ini sebenarnya bukan asli Indoneseia, melainkan berasal dari Wuhan, China. Penyebaran cepat dan efek fatal, hingga kematian, menjadi poin utama kewaspadaan pemerintah Indonesia. Hal ini membuat pemerintah mengeluarkan instruksi lockdown terhitung 30 Maret 2020. Pembatasan aktivitas perkantoran, pemakaian protokol Kesehatan, hingga kebijakan penghentian sekolah tatap muka menjadi poin utama intruksi ini. Sejak saat itu hingga sekarang, proses pembelajaran di sekolah ditiadakan, dialihkan kepada pembelajaran dalam jejaring; daring.

Keputusan peniadaan aktivitas belajar model ini mendapatkan respon menggembirakan, terutama bagi para siswa.  Tidak berangkatnya mereka ke sekolah dianggap sebagai momen libur yang menyenangkan. Waktu belajar yang lebih singkat (dari pada di sekolah) membuat siswa bisa puas berada di rumah, bermain game, dan melakukan aktivitas lain (di luar rutinitas sekolah) dengan bebas. Adapun orang tua/wali siswa merasakan shock luar biasa karena kerepotan menemani anaknya mengerjakan tugas. Mereka secara mendadak menjadi guru bagi anaknya sendiri.

Pada awalnya, kondisi ini memunculkan apresiasi tinggi dari orang tua/wali siswa terhadap kinerja para guru. Betapa tidak? Mereka dipaksa menjadi guru dadakan bagi anaknya di rumah. Ada yang kerepotan karena anak minta difasilitasi smartphone. Ada juga yang kewalahan membantu sang anak  ̶ kebanyakan tugas yang diberikan tidak berimbang dengan kualitas pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran  ̶  mengerjakan tugas dari gurunya. Beberapa dari mereka mampu membantunya. Akan tetapi bila disandingkan dengan jumlah keluhan yang diterima pihak sekolah, maka kebanyakan dari orang tua siswa sudah tidak sanggup (meladeni pembelajaran daring).

Kondisi ini juga meluluhlantakkan kompetisi persaingan madrasah dan sekolah umum. Keduanya pun menjadi korban. Semakin hari, semakin banyak keluhan dari para orang tua dan siswa tentang proses pembelajaran. Pihak madrasah atau sekolah umum pun sebenarnya sudah tidak sabar dengan keadaan ini, terutama para guru. Mereka sudah jenuh berada di rumah dan ingin segera bertatap muka dengan para siswa. Artinya tidak ada pemenang antara keduanya. Justru mereka sama-sama berpikir keras mempertahankan siswanya agar tetap mau belajar.

Apakah orang tua/wali siswa mau memahami kondisi itu? Ya, mereka memahami sambil mencari cara bagaimana agar anaknya bisa belajar tatap muka.

Upaya pemerintah mulai memberikan sedikit rasa lega dengan diizinkannya pembelajaran tatap muka. Tentu banyak hal yang menjadi syarat dapat dijalankannya model pembelajaran ini; Pembatasan jumlah guru dan siswa, pengurangan jam belajar, serta seluruh proses belajar yang harus dilakukan berdasarkan prosedur protokol kesehatan. Namun, hal ini masih menyisakan PR besar, yakni pembenahan terhadap perilaku siswa baik dalam ibadah maupun keseharian. Terlalu lama belajar di rumah, membuat upaya pembinaan keagamaan tidak berjalan maksimal. Hal ini membuat para orang tua/wali siswa kembali memutar otaknya.

Siapa yang lebih diuntungkan? Jawabannya adalah pondok pesantren.

Perizinan pembelajaran di pesantren juga memiliki banyak syarat. Mulai dari tidak diperkenankannya orang tua/wali santri menjenguk, keluar masuk pondok, dan pembiasaan penerapan aktivitas berdasarkan aturan protokol kesehatan. Pembatasan ini sebenarnya dikeluhkan oleh para siswa/santri. Mereka merasa jenuh karena harus setiap hari berkutat dengan pembelajaran di pondok tanpa boleh keluar sedikit pun. Akan tetapi, hal ini justru sangat didukung para orang tua. Mereka justru senang. Ibarat mengurung ayam dalam kandang hingga bertelur. Pengisolasian para siswa di pesantren sangat didukung oleh mereka, karena ada keyakinan yang kuat bahwa pembenahan perilaku di pesantren akan lebih efektif dari pada di rumah.

Paradigma ini membuat citra pesantren melejit pesat. Semakin banyak orang tua/wali siswa yang menarik anaknya dari madrasah/sekolah umum biasa dan memasukkannya ke pondok pesantren. Sungguh masa pandemi ini membawa berkah bagi pondok-pondok pesantren. Semoga kepercayaan ini dapat dijawab dengan output  yang memuaskan. Sehingga walaupun pandemi usai, pendidikan pondok pesantren tetap bisa maju. Bukankah kita juga tidak mau kalau pandemi ini berlangsung terus menerus?

*Muhammad Qomaruddin, S.Pd.I, Guru PNS Al Quran Hadis MTs Negeri 1 Purwakarta yang juga merupakan pengajar di pondok pesantren Tarbiyatul Islamiyyah dan Pondok Pesantren Fatahillah, Kab. Purwakarta