Sambil Menanti Wisudawan Kurikulum Pandemi
Sambil Menanti Wisudawan Kurikulum Pandemi
Oleh: Adnani, S.Hum (MAN 2 KOTA CIREBON)
Sudah satu tahun lebih pendidikan dilakasnakan secara daring. Sekolah-sekolah ditutup, para siswa dan guru dirumahkan, dan kegiatan belajar mengajar dilaksanakan dari rumah. Hal ini merupakan sesuatu yang baru bagi pendidikan kita. Satu sisi hal ini menumbuhkan generas-generasi yang melek teknologi, akan tetapi di sisi yang lain menimbulkan masalah baru, yaitu menyoal karakter siswa selama masa pandemi.
Persoalan tidak hanya datang dari siswa dan guru, akan tetapi melibatkan orang tua yakni dimana orang tua dituntut untuk menggantikan tugas guru selama masa pandemi. Dikutip dari sebuah surat kabar bahwa “Seorang ibu pukul anaknya pakai selang air saat belajar di rumah” kurang lebih seperti itu judul dalam berita tersebut. Berita tersebut mengungkapkan kekesalan seorang ibu terhadap anaknya saat menemani belajar di rumah. Tentu hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi para pemangku kebijakan, sampai kapan sekolah akan dilaksanakan secara daring?
Dari kejadian itu bisa dipahami kondisi psikologis dari ibu tersebut yang mungkin juga dirasakan oleh ibu yang lain di luar sana, bahwa tidak mudah menjadi sosok guru yang setiap hari senantiasa memberi pelajaran kepada anak muridnya dengan sabar dan telaten. Adanya program sekolah dari rumah ini nampaknya menjadi beban tersendiri bagi para orang tua. Banyak dari mereka yang merasa kesulitan dalam mengawasi anak mereka saat belajar di rumah. “Gage dibuka bae gah sekolahe, pegel ngurusi bocahe pada dolanan hp bae” (cepat dibuka saja sekolahnya, sudah pegal mengurus anak yang tiap hari mainan handphone terus) , mungkin keluh kesah seperti itu sudah lumrah kita dengar dari para orang.
Selain orang tua dituntut untuk mampu sabar dalam mendampingi siswa selama proses belajar di rumah, orang tua juga harus mampu mengendalikan interaksi anak dengan gadget, karena kondisi saat ini belajar dengan metode daring banyak melibatkan interaksi anak dengan gadget. Orang tua harus mampu memberi rambu-rambu yang jelas dan pemahaman kepada anaknya agar bisa menggunakan gadget secara bijak. Banyak hal-hal negatif yang bisa ditimbulkan dari gadget, andai kita tidak bijak dalam menggunakannya, dan sebaliknya.
Meminjam kata dari J.F Kennedy: “It’s better to light a candle than curse the darkness”. Nampaknya ungkapan itu cukup relevan dengan keadaan hari ini, yakni berhentilah menyalahkan keadaan mari kita bersama-sama menyalakan asa dan harapan. Beberapa harapan yang bisa kita usahakan untuk hari ini yakni sebagai berikut:
Pertama, dalam masa pandemi seperti ini kita sudah saatnya mengembalikan lagi konsep “al-um madrasatul ula”, Ibu/ orang tua adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Karena bagaimanapun peran seorang ibu/ orang tua sangat penting dalam membangun peradaban suatu bangsa. Disaat dimana pendidikan dilaksankan secara daring, maka di sana peran seorang ibu atau orang tua dituntut untuk mampu menjadi seorang guru yang baik dan mampu menjadi suri tauladan anak-anaknya. Contoh kasus penganiayan oleh seorang ibu di atas mungkin bisa kita hindari dengan pendidikan parenting dan keimanan yang kuat.
Kedua, nampaknya kita juga harus kembalikan lagi fungsi rumah sebagaimana mestinya yaitu baiti jannati, rumahku adalah syurgaku. Fungsi rumah sebagai tempat yang aman dan nyaman bagi para penghuninya. Ibu dan Ayah menjadi pondasi yang kokoh dalam membentuk karakter anak. Rumah menjadi benteng yang kokoh dalam menghadapi ancaman dekadensi moral dan spritual di masa pandemi seperti sekarang ini.
Ketiga, pendidikan karakter harus dimulai dari lingkungan terdekat yakni keluarga. Keluarga merupakan wadah pertama pertumbuhan dan perkembangan anak. Sehingga keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam mempengaruhi sifat anak. Kegagalan keluarga dalam membina karakter anak akan mengakibatkan kegagalan dalam bermasyarakat. Oleh karena itu, keluarga harus memiliki rasa tanggung jawab yang besar dalam membangun sebuah karakter bangsa.
Dalam pembinaan karakter anak di masa pandemi ini, selain melibatkan peran Ibu, ayah dan keluarga kita juga tetap membutuhkan sosok guru yang tetap mengontrol para siswanya. Guru bisa saja memberikan buku rubrik untuk catatan harian sebagai alat kontrol kegiatan selama di rumah, atau bisa saja guru meminta siswanya untuk mengisi ibadah dan kegiatan hariannya melalui aplikasi wats app atau google form yang setiap hari dilaporkan, agar kegiatan siswanya bisa dipantau dan hasilnya dilaporkan ke orang tuanya.
Sinergitas dan saling bahu-membahu dalam membangun karakter anak adalah keniscayaan, karena pendidikan karakter adalah tanggung jawab kita semua sebagai orang tua, guru, pemerintah dan masyarakat. Syubbanul yaum rijalul ghad, pemuda hari ini adalah pemimpin diesok hari. Gagal dalam mendidik anak adalah gagal dalam membangun masyarakat, dan kelak dari pendidikan karakter yang kuat akan menghasilkan pribadi yang kuat disiplin dan tangguh, dan kita percaya diri dalam menghadapi tantangan zaman.
Terakhir, setelah harapan-harapan tersebut kita upayakan, kita bisa membayangkan generasi-generasi baru tumbuh kembang sesuai zamannya. Membayangkan para pendidik yang semakin kreatif dalam menyajikan pembelajaran, kemudian membayangkan peserta didik yang mempunyai karakter yang baik dan kuat atas tempaan orang tuanya, dan membayangkan peran aktif orang tua dalam memajukan masa depan anaknya. Kita optimis menyongsong Indonesia emas ditahun 2045. Mari kita berdoa agar pandemi ini cepat berlalu dan kita mampu menghadapinya. Selanjutnya kita nantikan para wisudawan kurikulum pandemi ini, apakah berhasil mencetak generasi-generasi emas atau sebaliknya?