Telisik 11: Satrio Piningit vs Avenger: Matinya individualitas bangkitnya kolektivitas
  • 28 Maret 2022
  • 471x Dilihat
  • Telisik

Telisik 11: Satrio Piningit vs Avenger: Matinya individualitas bangkitnya kolektivitas

Oleh:

Dr. Firman Nugraha, M.Ag.

 

Diani dan Porta (2020) memberikan isyarat pentingnya kehadiran aktor perubahan dalam konteks gerakan sosial. Konsep ini selaras dalam mitos dunia ketiga yang senantiasa menyerahkan tanggungjawab perubahan pada sosok “Superman”. Sejatinya, mungkin kesadaran ini juga menjadi milik masyarakat global ketika tumbuhnya tokoh tokoh imaginer yang heroik dan menjadi kata kunci untuk menyelesaikan pelbagai persoalan. Wacana dunia barat kita mengenal adanya Superman yang dibangun oleh perusahaan DC Comics. Juga ada Thor misalnya yang dikembangkan oleh Marvels. Penyukanya mendunia. Khazanah nusantara mengenangnya dengan sebutan Satrio Piningit. Sosok idaman yang senantiasa ditunggu dan diyakini akan mampu menjawab pelbagai persoalan umat, dari zaman ke zaman.

Barat telah bergeser. Mereka mulai meraba arah perubahan yang lebih niscaya. Perubahan yang dibangun dengan kekuatan bersama. Smelser (1960) memang masih menyelipkan konsep precipitating factor, semacam faktor kunci yang menjadi agen dalam perubahan. Namun kekuatan yang sesungguhnya ada pada mimpi bersama dan kesadaran kolektif untuk bersama-sama mewujudkan mimpi tersebut dengan sumberdaya yang ada. Marvels, DC, juga telah membaca kesadaran ini. DC misalnya semakin kuat mengedepankan karya mereka yang di dalamnya terbangun dari berbagai tokoh imaginer untuk bersatu dengan sebutan Justice League. Sementara Marvels dengan digawangi oleh Iron Man, bersama sama menggalang kekuatan kolektif dengan sebutan Avenger. Uniknya, karya karya Hollywood ini juga mengajari kita bahwa dibalik kekuatan kekuatan adimanusia yang dimiliki superhero ternyata mereka berada dalam ikatan yang diinisiasi oleh “orang biasa”. Iron Man dan Batman, sesungguhnya orang biasa. Kesaktian mereka ada pada kemampuan teknologi dan sumberdaya ekonomi. Berbeda dengan superhero lainnya yang masih mengandalkan pada kekuatan “magic”.

Berkaca dari hal tersebut, kita selayaknya menyadari bahwa artinya kita semua bisa menjadi Satrio Piningit. Kita semua bisa menjadi agen perubahan. Kita tidak selayaknya menyerahkan tanggungjawab perbaikan pada orang lain, apalagi pada tokoh imaginer yang entah masih ada di mana. Sebuah ikatan kolektif merupakan warisan purba dalam pertahanan dan perubahan, namun sekaligus juga senantiasa mengalami pembaruan. Organisasi menuntut adanya manajemen. Manajemen meminta kesediaan adanya pemimpin. Namun demikian, konsep pemimpin masa lalu dengan sekarang semakin bergeser. Dari kepemimpinan tunggal yang bermuara pada kharisma (Weber) menjadi kepemimpinan kolektif (Smellser) kepemimpinan transformatif (Bass & Rigio). Kekolektifan menyisakan PR-pekerjaan rumah tersisa, yaitu wacana perbedaan yang berpotensi konflik. Namun karena konflik itupula maka dinamisasi perubahan semakin hidup. Syarat penting yang harus dibangun adalah trust. Percaya pada team dan kepercayaan ini mesti disertai dengan komitmen untuk senantiasa meningkatkan poin berikutnya yaitu kompetensi. Jika trust bermuatan kelompok dan individu, maka sebaliknya kompetensi merupakan sokongan individu terhadap kelompok. Untuk menjunjung trust pada kelompok ini juga perlu vitamin kejujuran dari anggota kelompok. Dua nutrisi ini pada gilirannya akan menjadi modalitas utama dalam mengarungi gelombang perubahan dalam ikatan kolektif.