Telisik 29: Disrupsi dalam pelatihan: gangguan atau inovasi?
Disrupsi dalam pelatihan: gangguan atau inovasi?
Oleh: Dr. Firman Nugraha, M.Ag.
Disrupsi menjadi istilah yang menjadi tak lagi asing untuk dibincangkan dan dipahami. Namun mungkin masih menjadi hal yang membuat gagap pada sisi implementasi. Disrupsi dalam sudut pandang kapitalisme yang boleh kita sebut pecinta kemapanan (status quo?) adalah sebuah gangguan. Namun bagi mereka yang senantiasa bergeliat dan bergelut dengan tantangan, disrupsi adalah perubahan (inovation). Hal ini persis seperti jauh jauh hari diungkapkan Clayton (1997) The Innovators Dilema, mereka yang selama ini dipinggirkan senantiasa mencari jalan untuk tampil dengan beragam inovasi. Sebaliknya dengan adanya inovasi ini mereka yang cenderung menikmati kemapanan menjadi gangguan (disturbance).
Semua lapisan pekerjaan mungkin dewasa ini terkena dengan gelombang disrupsi ini, terutama dengan semakin canggihnya teknologi. Dari era revolusi industri gelombang ke-4 bahkan bergeser ke gelombang ke-5. Pelatihan, menjadi salah satunya. Pelatihan konvensional membuat seperangkat aturan yang kini terkesan kuno, seperti adanya ruang belajar fisik sekaligus fasilitas pendukungnya; adanya pengajar, instruktur, fasilitator atau widyaiswara yang secara langsung hadir dalam kelas dan diikat seperangkat “aturan. Siapapun kini bisa belajar di manapun dan kapanpun. Internet membuat semuanya menjadi mungkin dan sama nyatanya dengan gaya konvensional. Secara teknis semua itu niscaya, namun apakah mindset kita sudah sepadan dengan dunia yang sedang berubah ini?
Sudah saatnya kitapun turut mengarungi gelombang perubahan, jika tidak mampu menjadi pionir dalam perubahan itu sendiri. Pelatihan ASN seudah sewajarnya memanfaatkan teknologi baru (internet) dengan membuka ruang kelas pelatihan virtual. Para instruktur tidak lagi terikat oleh jam pelatihan (mestinya). Pola konsultasi dan atau coaching tampaknya lebih relevan untuk terus diterapkan ketimbang mengajar. Kesadaran peserta pelatihan untuk belajar menjadi lebih dominan, sehingga merekapun bebas menentukan topik apa yang akan mereka konsultasikan.
Semua ini akan menjadi semacam “gangguan” baik pada pola anggaran yang menjadi murah (sementara diminta serapan tinggi?); jam pelatihan yang lebih fleksibel (sementara ada tuntutan jam mengajar widyaiswara perbulan?); kualifikasi dan kompetensi pengajar yang perlu senantiasa up to date (sementara masih terikat oleh kotak rumpun dan spesialisasi absurd?). semua itu baru sedikit yang dapat dituliskan dalam perspektif disturbance. Tidak demikian halnya jika kita setuju dengan inovasi. Semakin murah anggaran maka akan semakin banyak sasaran yang dapat dilayani. Semakin terbuka kesempatan belajar maka para widyaiswara juga bisa semakin terbuka dan terpacu untuk terus memperbaiki diri, kompetensi dan kualifikasi. Kerangka spesialisasi widyaiswara bukan kotak mati yang tertutup untuk perubahan, mestinya dengan semakin terbukanya kesempatan maka ruang kolaborasi juga semakin terbuka. Tentusaja semuanya dari kesiapan untuk membuka isi kepala dari jebakan penjara ego. Disinilah percabangan disrupsi yang harus dipilih, setuju sebagai gangguan? atau setuju sebagai inovasi dengan semangat perubahan?