Telisik 7: Menembus batas kemustahilan menerima segala kemungkinan: belajar dari perjalanan malam Sang Nabi
  • 28 Februari 2022
  • 427x Dilihat
  • Telisik

Telisik 7: Menembus batas kemustahilan menerima segala kemungkinan: belajar dari perjalanan malam Sang Nabi

Oleh:

Dr. Firman Nugraha, M.Ag.

 

Peristiwa isro dan mi’roj Nabi Muhammad saw, bisa dikatakan sebagai ujian keimanan, baik untuk umat dewasa itu, maupun masa kini. Secara jangkauan nalar, di masa itu suatu kemustahilan suatu perjalanan (di malam hari) dapat dilakukan dalam tempo yang singkat antara Mekah dengan Yerusalem. Dari Masjid al Haram ke Masjid al Aqso. Namun demikian, persitiwa adimanusia ini direkam dalam al Quran suci surat al Isra ayat 1. Ayat ini sendiri dimulai dengan ungkapan tasbih, yang meniscayakan berita yang dikandungnya mengandung persitiwa luar biasa, bukan sekedar menghasilkan ketaa’juban, melainkan juga mungkin akan adanya penyangkalan. Namun dengan tasbih ini jauh jauh hari sudah disangkal duluan upaya penyangkalan apapun atas peristiwa luas biasa ini.

Peristiwa besar ini, setidaknya menyisakan beberapa pelajaran penting bagi kita. Diantara bentangan hikmah dan ibrah yang bisa digali, salah satunya melahirkan kesadaran spiritual, kesadaran rohani, bahwa manusia lemah namun Allah maha kuat. Manusia terbatas kemampuannya, namun Allah tidak dibatasi atau tidak terbatas kekuasannya. Para cendikiawan mengungkapkan bahwa perjalanan malam ini bukan kehendak sang Nabi, melainan Allah yang berkehendak. Bukan perjalanan mandiri, namun Allah yang memperjalankannya. Artinya, kita manusia bisa belajar untuk meraih segala cita-cita, hendaknya senantiasa memhon bantuan dan ridha dari Dzat yang memiliki kekuasaan dan kehendak tak terbatas, Allah.

Pelajaran berikutnya adalah, kita tidak harus meminta kepercayaan publik pada integritas kita melalui kata-kata karena sangat dimungkinkan akan adanya penyangkalan-penyangkalan. Terutama untuk hal hal yang belum bisa sampai pada nalar publik. Ketika Kanjeng Nabi menyampaikan peristiwa ini, banyak kalangan musyrik Quraisy yang menuduh Sang Nabi telah hilang akal. Bahkan ketika ayat inipun diturunkan Allah, tidak semua umat Islam dewasa itu dengan spontan menyatakan bahwa hal tersebut benar terjadi. Hal ini menyiratkan bahwa visi seseorang belum tentu bisa diterima secara terbuka oleh orang lain, hanya karena  visi tersebut dianggap “nyeleneh” dan tidak berpihak pada common sense publik.  Alhasil, keyakinan-keyakinan publik pada akhirnya akan terbit saat visi tersebut telah melampaui masa yang relevan yang sejalan dengan proses penyadaran kolektif bahwa ada kemungkinan kemungkinan dibalik hal-hal mustahil. Kemustahilan hanyalah milik orang-orang kalah, yang tidak mau belajar dan bangkit menyandarkan diri pada kekuatan yang tidak terbatas, yakni kekuatan Allah subhanahu wata’ala.