“Tiktoktisasi” dalam Pembelajaran ?,,, Mengapa Tidak !
  • 14 Februari 2022
  • 232x Dilihat
  • Telisik

“Tiktoktisasi” dalam Pembelajaran ?,,, Mengapa Tidak !

Oleh:

Dedi Restendi, S.Pd., MM.

 

Fenomena menarik di dunia maya khususnya jejaring sosial selama 5 tahun terakhir ini adalah kemunculan tiktok dengan capaian penggunanya diseluruh dunia yang menembus angka 1 milyar pengguna aktif per 27 September 2021. Angka ini pertama kali dilansir oleh The Verge (jaringan media berita teknologi Amerika yang dioperasikan oleh Vox Media) yang menurunkan berita tentang unggahan video ucapan terima kasih dari kepala kantor operasi tiktok Vanessa Pappas kepada pengguna tiktok di seluruh dunia. Tiktok merupakan media sosial aplikasi pembuat dan penyebar video musik yang untuk pertama kalinya diluncurkan tahun 2016 oleh Zhang Yiming seorang berkebangsaan Tiongkok yang juga pendiri flat form konten berita dan informasi bernama Toutiau. Tahun 2018 Kemenkominfo sempat memblokir peredaran aplikasi tiktok di Indonesia, hal ini merupakan bentuk respon dari aduan masyarakat dan komisi perlindungan anak Indonesia yang menilai konten negatif tiktok dapat membahayakan tumbuh kembang anak–anak di Indonesia, mengingat banyaknya konten tiktok yang menampilkan gerakan yang memperlihatkan aurat dan percakapan yang bersifat kasar dan vulgar. Setelah dilakukan negosiasi antara pemerintah dan perusahaan tiktok akhirnya pemblokiran dicabut dengan syarat tiktok harus menghapus konten negatif, mendirikan kantor penghubung di Indonesia dan menerapakan batasan usia serta menerapkan mekanisme keamanan. Walaupun demikian konten negatif pada saat ini masih dapat kita lihat.

Berdasarkan data yang diperoleh dari databoks.katadata.co.id, Indonesia menjadi negara terbesar kedua di dunia pengguna aktif aplikasi tiktok dengan jumlah 22,2 juta, sementara Amerika Serikat berada pada urutan pertama dengan jumlah 65,9 juta pengguna, Rusia berada di urutan ketiga dengan jumlah 16,4 juta pengguna aktif bulanan. Besarnya jumlah pengguna tiktok di Indonesia sangat dimungkinkan dipengaruhi oleh kemudahan akses internet yang secara umum orang Indonesia mengaksesnya melalui telepon pintar, belum adanya regulasi pembatasan usia mengenai pengguna smart phone dalam arti, anak – anak dibawah usia 18 tahun sudah bisa memiliki smartphone dan pertumbuhan positif dari pembangunan infrastruktur jaringan internet di Indonesia. Berdasarkan data dari Donny Eryastha kepala kebijakan public tiktok Indonesia sebagai mana dilansir https://tekno.sindonews.com/berita/1523692/207/pengguna-tiktok-di-indonesia-didominasi-generasi-z-dan-y, pengguna tiktok di Indonesia didominasi oleh dua generasi yaitu generasi Y (generasi milenial) dan genarasi Z (rentang usia sekolah 14 – 24 tahun). Dengan demikian tiktok dapat dikatakan sebagai salah satu “culture” pergaulan sosial anak – anak sekolah di Indonesia. Penemuan sebuah teknologi baru tidak pernah lepas dari dua sisi yang menjadi dampak atas kehadirannya, begitu juga dengan fenomena keberadaan tiktok yang sudah menjadi salah satu “mainan baru” bagi generasi Y dan Z.

Para penggiat pendidikan di Indonesia, dimana di dalamnya terdapat unsur widyaiswara, guru, dosen, dan penyuluh agama dapat memanfaatkan potensi tiktok. Setidaknya ada 3 potensi dari tiktok yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembelajaran yaitu 1) tiktok saat ini sudah menjadi bagian dari pergaulan keseharian anak – anak usia sekolah, 2) kemudahan dalam mengakses tiktok, dan 3) flat form video yang digunakan dalam membuat konten tiktok. Proses pembelajaran pada haikatnya adalah upaya untuk membuat peserta didik memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap atas materi pelajaran tertentu yang diberikan oleh para penggiat pendidikan. Fakta bahwa tiktok sudah menjadi bagian dari kultur pergaulan anak usia sekolah dapat dimanfaatkan penggiat pendidikan untuk melakukan pendekatan kultural kepada peserta didik sehingga akan tercipta suasana yang harmonis sebagai modal awal dalam proses pembelajaran. Fakta kedua aplikasi tiktok mudah diakses kapan dan di mana saja dapat dimanfaatkan para penggiat pendidikan untuk membuat konten pembelajaran dan ketiga flat form video dan musik dengan durasi 30 sampai dengan 60 detik yang digunakan untuk membuat konten tiktok dapat dijadikan sebagai media pembelajaran berbasis video, dimana media video ini dipandang efektif dalam menyampaikan sebuah pesan sebagaimana yang dikemukakan oleh oleh Dwyer (1978) bahwa video mampu merebut 94% saluran masuknya pesan atau informasi ke dalam jiwa manusia melalui mata dan telinga serta mampu untuk membuat orang pada umumnya mengingat 50% dari apa yang mereka lihat dan dengar dari tayangan program, selain itu, panjang durasi video tiktok yang maksimal 60 detik tersebut sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa secara alamiah seseorang masih dapat menagkap pesan dari sebuah tayangan video maksimal 7 menit. Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh para penggiat pendidikan dalam memanfaatkan tiktok untuk konten pembelajaran diantaranya adalah jeli memilih jenis materi yang cocok “ditiktokan”, upaya untuk terus mengikuti perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dan proses kreatif. Pembuatan konten pembelajaran dengan aplikasi tiktok merupakan salah satu ikhtiar dalam rangka memperkaya konten positif yang beredar di media sosial.